Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Upaya Kolektif Penyelamatan Lingkungan Kerap Gagal?

Kompas.com - 08/01/2025, 15:11 WIB
Yunanto Wiji Utomo

Penulis

KOMPAS.com - September 2024 lalu, Kompas.com bertemu Asmania, warga Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta. dia bercerita tentang dilema yang dihadapinya sebagai warga pesisir. 

"10 tahun belakangan, kami merasakan perubahan besar. Permukaan laut meningkat. Abrasi juga meningkat," katanya.

"Dulu, dari tangkapan ikan, dapat Rp 1 juta gampang. Sekarang sulit. Kami melaut lebih jauh dengan hasil tak seberapa. Kami tanam rumput laut, sebentar sudah memutih," urainya.

Warga setempat berusaha melawan tantangan akibat iklim dan perusakan lingkungan itu. Di pesisir kampung, mereka berusaha menanam mangrove.

Tapi upaya itu terasa tak mampu melawan massifnya perusakan lingkungan. Proyek reklamasi dan pembangunan pesisir yang tak ramah lingkungan terus berlanjut.

"Kami tanam mangrove. Tapi ada perusahaan yang bangun pantai dan diberi ijin pemerintah. Mangrove jadi banyak hanyut oleh arus," terangnya.

Baca juga: Kelapa Sawit Kontroversial dan Politis, Bagaimana AI Menarasikannya?

Dilema yang dihadapi Asmania adalah cerminan paradoks upaya kolekktif dan kebijakan pemerintah. 

Itu tidak hanya terjadi pada upaya kolektif warga ketika dihadapkan dengan pemerintah, tetapi juga upaya kolektif dunia ketika berhadapan dengan masing-masing negara.

Direktur Jenderal Center for International Forestry Research (CIFOR), Robert Nasi, mengatakan dalam tulisannya bahwa kegagalan upaya kolektif menyelamatkan lingkungan adalah politik tiap negara.

Meskipun para pemerhati lingkungan, warga di tiap wilayah sekitar hutan, mengusahakan pelestarian, kepentingan lain yang lebih besar menihilkan usaha itu.

"Laporan Bank Dunia 2023 soal pendanaan biodiversitas menguak, negara-negara mengeluarkan 500 dollar AS per tahun menyubsidi aksi merusak, 3 kali lipat dana proteksi," urainya.

Baca juga: Tantangan Konservasi di Indonesia, Mulai dari Pendanaan hingga Kebakaran

Konvensi dunia COP mengupayakan pemberhentian penggunaan energi fosil. Namun, China masih membangun batubara. Amerika Serikat keluar dari Protokol Kyoto.

Urusan lahan juga bisa jadi contoh. Negara-negara memilih kebijakan penggunaan lahan untuk pertanian yang eksploitatif guna mendukung kepentingan ekonomi sesaat.

Dunia juga mengupayakan perlindungan hutan. Namun, kebijakan tiap negara yang punya hutan justru mendukung perusakannya.

"Pengalaman Indonesia contoh. Meski punya aturan perlindungan hutan yang baik, tetapi keputusan politik lebih mendukung ekspansi kelapa sawit dan deforestasi," urai Nasi.

Nasi menegaskan, kegagalan usaha penyelamatan lingkungan bukan pada upaya kolektif, tetapi pada "implementasi."

Agar upaya kolektif - baik konvensi seperti COP maupun upaya masyarakat - berhasil, governance di tingkat negara perlu diperkuat.

Transparansi, pembangunan keberpihakan poltik pada lingkungan, dan konstituen untuk lingkungan yang lebih kuat perlu dilakukan.

Baca juga: Perlindungan Terhadap Biodiversitas Tingkatkan Perekonomian Bangsa

 

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau