Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Disrupsi Energi dan Inovasi Teknologi

Kompas.com - 14/02/2025, 21:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Melanjutkan diskusi tentang Swasembada Energi, kali ini kita membahas Disrupsi Energi dan Inovasi Teknologi sebagai fondasi penting menuju Kemandirian Energi dan keberlanjutan lingkungan.

Disrupsi energi mengacu pada perubahan atau gangguan dalam sistem energi yang mengubah cara energi diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi.

Disrupsi bisa disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain inovasi teknologi dan dinamika global yang berdampak terhadap tergesernya dominasi energi fosil oleh sumber energi baru dan terbarukan (EBT).

Baca juga: Bahan Bakar Nabati sebagai Pilar Swasembada Energi

Aspek Penting Disrupsi Energi

Perubahan dalam sektor energi didorong oleh meningkatnya efisiensi, turunnya biaya, dan tuntutan global untuk menggunakan energi yang bersih.

Diversifikasi energi penting bagi Indonesia untuk mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan mempercepat transisi ke EBT seperti tenaga surya, angin, hidro, dan bioenergi.

Kemajuan teknologi penyimpanan energi, seperti baterai berbasis nikel, juga penting untuk pemanfaatan EBT secara optimal. Digitalisasi melalui smart grid dan kecerdasan buatan (AI) dapat meningkatkan efisiensi serta keandalan sistem energi.

AI mampu mengoptimasikan jaringan listrik, memprediksi permintaan energi, serta meningkatkan efisiensi produksi dan distribusi listrik.

Dalam era disrupsi EBT, setiap orang dapat memenuhi kebutuhan listriknya sendiri. Listrik akan menjadi kebutuhan personal, seperti halnya telepon genggam (HP).

Perusahaan dan jaringan listrik mungkin tidak diperlukan lagi, dan mengalami nasib sama seperti yang terjadi di dunia telekomunikasi, saat komunikasi beralih ke frekuensi tanpa kabel.

Baca juga:

Selain nuklir, hidrogen hijau menjadi solusi potensial karena diproduksi melalui elektrolisis air menggunakan listrik dari sumber EBT, tanpa emisi karbon. Hidrogen hijau dapat mendukung dekarbonisasi industri berat, sektor transportasi, dan penyimpanan energi skala besar.

Dengan potensi sumber EBT yang berlimpah, Indonesia dapat mengembangkan ekosistem hidrogen hijau yang kompetitif.

Semua ini tentu akan memerlukan dukungan regulasi, insentif bagi investor, dan reformasi subsidi energi. Dukungan kemitraan sektor publik dan swasta (Public-Private Partnership), reformasi subsidi energi yang lebih berorientasi pada EBT diperlukan untuk mempercepat Indonesia menjadi pemain utama dalam ekosistem hidrogen hijau global.

Sejarah Perubahan Sistem Energi

Sejarah perubahan sistem energi sejak tahun 1600 hingga saat ini diperlihatkan pada Gambar 1. Awal pemanfaatan EBT dimulai pada tahun 1950 hingga 2000, sebelumnya didomiasi oleh Biomassa dan Migas.

Pada tahun 1950-an pemanfaatan reaktor nuklir untuk PLTN terjadi di Uni Soviet dan AS. Panel surya dan turbin angin mulai dikembangkan di negara-negara maju pada 1980-an.

Era EBT dimulai pada tahun 2000-an di mana penurunan harga panel surya dan turbin angin turut mempercepat transisi dari fosil ke EBT.

Pada tahun 2010-an Mobil listrik (Tesla) dan kebijakan energi hijau di banyak negara berkembang pesat. Percepatan penggunaan hidrogen hijau, baterei penyimpanan besar dan teknologi smart grid terjadi pada awal tahun 2020-an.

Disrupsi Sektor Energi (1600 - sekarang)Dari berbagai sumber Disrupsi Sektor Energi (1600 - sekarang)

Keterangan: Disrupsi Sektor Energi (1600 - sekarang)

Sejarah membuktikan bahwa negara-negara maju telah lama mendominasi riset dan inovasi teknologi di bidang EBT. Dengan banyak berinvestasi dalam riset selama puluhan tahun, mereka telah sukses meneliti EBT hingga ke fase komersial, dan kini membutuhkan pangsa pasar seperti Indonesia.

Di tengah tantangan disrupsi energi, hasil inovasi teknologi negara-negara maju menawarkan solusi kunci. Hal ini membuat posisi Indonesia menjadi semakin sulit dalam mewujudkan kemandirian energinya.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau