Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pengesahan UU Minerba Dinilai Langkah Mundur Transisi Energi Berkeadilan

Kompas.com, 24 Februari 2025, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pengesahan revisi Undang-Undang tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) oleh DPR RI dinilai menjadi langkah mundur transisi energi berkeadilan.

Koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan #BersihkanIndonesia menilai, pasal-pasal dalam revisi UU Minerba memperpanjang ketergantungan terhadap industri batu bara.

UU Minerba yang baru disahkan tersebut juga dinilai memfasilitasi ekspansi pertambangan tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosialnya.

Baca juga: UU Minerba Baru Dikhawatirkan Perluas Ekspansi Tambang di Maluku Utara

Salah satu poin yang menjadi perhatian adalah pengutamaan kebutuhan batu bara dalam negeri melalui kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) yang berpotensi menghambat upaya percepatan transisi ke energi bersih dan memperpanjang usia penggunaan energi kotor.

Juru Bicara #BersihkanIndonesia dan Team Leader Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia Bondan Andriyanu menuturkan, pihaknya menyoroti lemahnya komitmen terhadap perlindungan lingkungan dalam revisi UU ini.

Persyaratan audit lingkungan dalam perpanjangan kontrak karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) tidak disertai dengan sanksi tegas bagi perusahaan yang terbukti merusak lingkungan.

"Pengalaman menunjukkan bahwa banyak perusahaan tambang mengabaikan pemulihan lahan bekas tambang, meninggalkan lubang-lubang tambang yang membahayakan masyarakat dan ekosistem sekitar," ucap Bondan, dikutip dari siaran pers, Kamis (20/2/2025).

Team Leader 350 Indonesia Sisilia Nurmala menyoroti kilatnya proses legislasi UU Minerba yang disahkan.

Baca juga: Revisi UU Minerba Sah, Pemerintah Diingatkan Risiko Over-produksi

Cepatnya pembahasan RUU hingga akhirnya disahkan DPR dia nilai mengabaikan urgensi mengatasi bencana krisis iklim.

Sisilia juga menyoroti diakomodasinya berbagai entitas dalam pertambangan seperti badan usaha milik daerah (BUMD), usaha kecil dan menengah (UKM), koperasi, hingga badan usaha ormas keagamaan.

"Jika dalihnya membuka kesempatan kepada masyarakat melalui BUMD, UKM, koperasi, badan usaha ormas keagamaan maka seharusnya energi terbarukan berbasis masyarakat yang lebih didorong dengan perbaikan regulasi yang memudahkan," papar Sisilia.

Padahal, lanjutnya, potensi energi terbarukan di Indonesia sangat besar, namun belum dioptimalkan sampai sekarang.

Contohnya, energi surya dengan potensi 3.294,4 gigawatt (GW) baru dimanfaatkan 0,01 persen. Sementara itu, potensi energi angin 154,9 GW dan energi air 94,5 GW baru dimanfaatkan masing-masing 0,1 persen dan 7 persen.

Baca juga: Revisi UU Minerba Disahkan, Apa yang Bisa Kita Minta pada Pemerintah Sekarang?

Pemanfaatan energi terbarukan yang tersebar di seluruh wilayah tersebut justru bakal membuka kontribusi masyarakat lebih besar untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi dalam jangka panjang.

Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur Wahyu Eka Styawan menyampaikan, revisi UU Minerba yang baru disahkan akan semakin mempermudah perizinan dan memperpanjang izin operasi tambang batu bara.

Dia menuturkan, hal tersebut bakal semakin memperparah dampak lingkungan bagi rakyat yang bermukim di sekitar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yang menjadi sektor hilir batu bara.

Wahyu berujar, ketergantungan pada energi fosil tidak hanya meningkatkan pencemaran udara dan risiko kesehatan bagi rakyat, tetapi juga menghambat upaya transisi energi bersih dan berkeadilan.

"Revisi ini merupakan potret sebuah kebijakan yang menunjukkan bahwa kepentingan industri batubara lebih diutamakan dibandingkan perlindungan lingkungan dan kesehatan rakyat," ujar Wahyu.

Baca juga: ITS Sambut Baik Usulan Perguruan Tinggi Kelola Tambang dalam RUU Minerba

Konflik

Konsolidator Sumatera Terang untuk Energi Terbarukan (STUEB) Ali Akbar menekankan, revisi UU Minerba akan mempertajam konflik horizontal antara masyarakat korban pertambangan dengan entitas penerima tambang yang baru seperti ormas, UKM dan koperasi.

"Ketika hanya korporasi saja yang diberi kuasa atas pertambangan, kondisinya sudah karut marut, apa lagi ketika organisasi berbasis massa besar seperti ormas juga menjadi pengelolaan tambang," tutur Ali.

Dia menambahkan, korban akan sangat sulit untuk mendapatkan keadilan atas lingkungan hidup yang baik dan bersih.

Selain itu, potensi konflik horizontal dari rakyat korban dengan massa ormas akan semakin tinggi.

Baca juga: RUU Minerba Disahkan, Jatam: Langkah Mundur Tata Kelola Pertambangan

Gerakan #BersihkanIndonesia menuntut presiden untuk segera membatalkan pengesahan UU Minerba yang telah disetujui DPR RI.

Mereka juga mendesak DPR dan pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU Energi Baru Energi Terbarukan (EBET) dengan memasukkan prinsip-prinsip keadilan energi, transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Pemerintah juga diminta menunjukkan komitmen nyata dalam transisi energi yang berkeadilan dengan mengakhiri ketergantungan pada industri batu bara.

Pemerintah juga didesak berinvestasi pada energi terbarukan serta ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Baca juga: Poin Revisi RUU Minerba: Kampus Tak Jadi Diberi Konsesi Tambang, UKM Daerah Dapat Jatah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal
Satwa Liar Terjepit Deforestasi, Perburuan, dan Perdagangan Ilegal
LSM/Figur
Menteri UMKM Berencana Putihkan Utang KUR Korban Banjir Sumatera
Menteri UMKM Berencana Putihkan Utang KUR Korban Banjir Sumatera
Pemerintah
Akademisi IPB Sebut Hutan Adat Bisa Tekan Emisi Gas Rumah Kaca dan Krisis Iklim
Akademisi IPB Sebut Hutan Adat Bisa Tekan Emisi Gas Rumah Kaca dan Krisis Iklim
Pemerintah
CIMB Niaga Salurkan 'Green Financing' Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
CIMB Niaga Salurkan "Green Financing" Syariah ke IKPT untuk Dukung Transisi Energi
Swasta
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Permintaan Batu Bara Dunia Capai Puncak Tahun Ini, Tapi Melandai 2030
Pemerintah
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
Pulihkan Ekosistem Sungai, Jagat Satwa Nusantara Lepasliarkan Ikan Kancra di Bogor
LSM/Figur
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
Riau dan Kalimantan Tengah, Provinsi dengan Masalah Kebun Sawit Masuk Hutan Paling Rumit
LSM/Figur
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
366.955 Hektar Hutan Adat Ditetapkan hingga November 2025
Pemerintah
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
Suhu Arktik Pecahkan Rekor Terpanas Sepanjang Sejarah, Apa Dampaknya?
LSM/Figur
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
Pembelian Produk Ramah Lingkungan Meningkat, tapi Pesan Keberlanjutan Meredup
LSM/Figur
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
Menjaga Napas Terakhir Orangutan Tapanuli dari Ancaman Banjir dan Hilangnya Rimba
LSM/Figur
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
FWI Soroti Celah Pelanggaran Skema Keterlanjuran Kebun Sawit di Kawasan Hutan
LSM/Figur
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Menhut Raja Juli Soroti Lemahnya Pengawasan Hutan di Daerah, Anggaran dan Personel Terbatas
Pemerintah
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Menhut Raja Juli Sebut Tak Pernah Beri Izin Pelepasan Kawasan Hutan Setahun Terakhir
Pemerintah
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Krisis Iklim Picu Berbagai Jenis Penyakit, Ancam Kesehatan Global
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Apresiasi Spesial
Kirimkan Apresiasi Spesial untuk mendukung Jurnalisme KOMPAS.com
Kolom ini tidak boleh kosong.
Dengan mengirimkan pesan apresiasi kamu menyetujui ketentuan pengguna KOMPAS.com. Pelajari lebih lanjut.
Apresiasi Spesial
Syarat dan ketentuan
  1. Definisi
    • Apresiasi Spesial adalah fitur dukungan dari pembaca kepada KOMPAS.com dalam bentuk kontribusi finansial melalui platform resmi kami.
    • Kontribusi ini bersifat sukarela dan tidak memberikan hak kepemilikan atau kendali atas konten maupun kebijakan redaksi.
  2. Penggunaan kontribusi
    • Seluruh kontribusi akan digunakan untuk mendukung keberlangsungan layanan, pengembangan konten, dan operasional redaksi.
    • KOMPAS.com tidak berkewajiban memberikan laporan penggunaan dana secara individual kepada setiap kontributor.
  3. Pesan & Komentar
    • Pembaca dapat menyertakan pesan singkat bersama kontribusi.
    • Pesan dalam kolom komentar akan melewati kurasi tim KOMPAS.com
    • Pesan yang bersifat ofensif, diskriminatif, mengandung ujaran kebencian, atau melanggar hukum dapat dihapus oleh KOMPAS.com tanpa pemberitahuan.
  4. Hak & Batasan
    • Apresiasi Spesial tidak dapat dianggap sebagai langganan, iklan, investasi, atau kontrak kerja sama komersial.
    • Kontribusi yang sudah dilakukan tidak dapat dikembalikan (non-refundable).
    • KOMPAS.com berhak menutup atau menonaktifkan fitur ini sewaktu-waktu tanpa pemberitahuan sebelumnya.
  5. Privasi & Data
    • Data pribadi kontributor akan diperlakukan sesuai dengan kebijakan privasi KOMPAS.com.
    • Informasi pembayaran diproses oleh penyedia layanan pihak ketiga sesuai dengan standar keamanan yang berlaku.
  6. Pernyataan
    • Dengan menggunakan Apresiasi Spesial, pembaca dianggap telah membaca, memahami, dan menyetujui syarat & ketentuan ini.
  7. Batasan tanggung jawab
    • KOMPAS.com tidak bertanggung jawab atas kerugian langsung maupun tidak langsung yang timbul akibat penggunaan fitur ini.
    • Kontribusi tidak menciptakan hubungan kerja, kemitraan maupun kewajiban kontraktual lain antara Kontributor dan KOMPAS.com
Gagal mengirimkan Apresiasi Spesial
Transaksimu belum berhasil. Coba kembali beberapa saat lagi.
Kamu telah berhasil mengirimkan Apresiasi Spesial
Terima kasih telah menjadi bagian dari Jurnalisme KOMPAS.com
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau