Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Raja Ampat, Jejak Kerusakan Hutan, dan Harapannya

Kompas.com - 07/06/2025, 11:03 WIB
Eriana Widya Astuti,
Yunanto Wiji Utomo

Tim Redaksi

KOMPAS.com Raja Ampat kerap dipuja sebagai surga biodiversitas Indonesia. Gugusan pulau di Papua Barat ini dikenal karena kekayaan laut, hutan tropis lebat, dan biodiversitas yang masih terjaga.

Namun, di balik citra eksotis itu, lanskap alam Raja Ampat menyimpan jejak kerusakan tidak yang selama ini tak terdengar karena isunya tak cukup viral seperti tambang nikel.

Data dari Global Forest Watch mencatat, dalam kurun waktu 22 tahun, sekitar 11.700 hektar hutan primer di Raja Ampat telah hilang.

Hutan jenis tersebut memiliki peran penting secara ekologis karena umumnya sudah tua, belum terganggu, dan menyimpan cadangan karbon serta keanekaragaman hayati yang sangat besar.

Kehilangan itu menyumbang 76 persen dari total kehilangan tutupan pohon di wilayah tersebut dalam periode 2002 hingga 2024.

Secara persentase, luas hutan primer yang hilang baru mencakup 1,8 persen dari keseluruhan hutan primer yang masih ada—artinya sebagian besar hutan primer masih tetap utuh.

Namun, angka kecil tak bisa serta merta dibilang "cuma". Jika ditarik lebih luas, sejak tahun 2001 hingga 2024, Raja Ampat telah kehilangan 15.900 hektar tutupan pohon, melepaskan sekitar 11,4 juta ton emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e) ke atmosfer.

Selain itu, salah satu aspek yang jarang dibahas adalah penyebab utama deforestasi di wilayah ini.

Dari data yang sama, sekitar 30 persen kehilangan tutupan pohon antara 2001 hingga 2024 terjadi di area yang terdampak langsung oleh faktor-faktor pendorong deforestasi seperti pembangunan dan perkebunan skala besar. 

Baca juga: Pertemuan Langka Dua Pari Manta, Panggilan Konservasi Laut Raja Ampat

Permukiman dan infrastruktur menyumbang deforestasi sekitar 632 hektar, pertambangan dan perkebunan skala besar sebesar 332 hektar.

Sementara itu, penebangan (baik legal maupun ilegal) menyumbang kehilangan sekitar 5.500 hektar, kebakaran hutan sebesar 2.710 hektar, serta gangguan alam dan manusia lainnya seluas 867 hektar.

Tahun terparah terjadi pada 2016, ketika sebanyak 645 hektar tutupan pohon hilang akibat kebakaran.

Pembukaan lahan hutan untuk pertambangan, perkebunan skala besar, dan pembangunan infrastruktur, jika diteruskan, tak ramah lingkungan berpotensi memicu dampak buruk.

Kita masih punya harapan untuk menyelamatkan Raja Ampat. Sebagian besar hutan tidak mengalami perubahan signifikan., Selain itu, ekosistem hutan Raja Ampat saat ini masih bisa memperbaiki diri.

Meski sempat mengalami kehilangan tutupan, tercatat ada pertambahan tutupan pohon seluas 474 hektar antara tahun 2000 hingga 2020. 

Ada hutan yang perlu dimonitor agar tidak hilang. Lahan terganggu tercatat mencapai 23.000 hektar. Ini menunjukkan adanya tekanan yang mungkin disebabkan oleh aktivitas manusia atau bencana alam selama periode tersebut.

Berdasarkan data peringatan kebakaran hutan (VIIRS) dengan tingkat keyakinan tinggi dari Global Forest Watch, ancaman kebakaran hutan pada 2025 tergolong rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Kini, pertanyaannya bukan lagi apakah Raja Ampat akan berubah, melainkan seberapa jauh kita mampu menahan laju kerusakannya.

Baca juga: KLH Sanksi 4 Tambang Nikel di Raja Ampat, Terbukti Lakukan Pelanggaran Serius

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya
Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
Cabai Palurah dari IPB, Solusi Pedas Berkelanjutan untuk Dapur dan Industri
LSM/Figur
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Produksi Hidrogen Lepas Pantai Tingkatkan Suhu Lokal, Perlu Mitigasi
Pemerintah
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Tanam 1.035 Pohon, Kemenhut Kompensasi Jejak Karbon Institusi
Pemerintah
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
Valuasi Ekonomi Tunjukkan Raja Ampat Lebih Kaya dari Hasil Tambangnya
LSM/Figur
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Murah tapi Mematikan: Pembakaran Plastik Tanpa Kontrol Hasilkan Dioksin dan Furan
Pemerintah
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Driver Ojol Mitra UMKM Grab Akan Dapat Insentif BBM dan KUR
Pemerintah
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Menhut: Target NDC Perlu Realistis, Ambisius tetapi Tak Tercapai Malah Rugikan Indonesia
Pemerintah
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
Populasi Penguin Kaisar Turun 22 Persen dalam 15 Tahun, Lebih Buruk dari Prediksi
LSM/Figur
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pembukaan Lahan dan Pembangunan Sebabkan Buaya Muncul ke Permukiman
Pemerintah
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Grab Rekrut Ribuan Driver Ojol untuk Sekaligus Jadi Mitra UMKM
Swasta
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Potensi Rumput Laut Besar, tetapi Baru 11 Persen Lahan Budidaya yang Dimanfaatkan
Pemerintah
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Veronica Tan Ingin Jakarta Ramah Perempuan dan Anak
Pemerintah
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BRI Fellowship Journalism 2025 Kukuhkan 45 Jurnalis Penerima Beasiswa S2
BUMN
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Sistem Tanam Padi Rendah Karbon, Apakah Memungkinkan?
Pemerintah
Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Emisi Kapal Turun jika Temukan Jalur Pelayaran Baru yang Efisien
Pemerintah
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau