BPS Kepri (2023) mencatat lebih dari 1,1 juta wisman datang ke Kepri, mayoritas tertarik oleh wisata alam, snorkeling, hingga kekayaan budaya maritim.
Pulau-pulau seperti Penyengat, Nikoi, Benan, Senua, dan Berhala sering disebut wisatawan sebagai destinasi dengan daya tarik khas. Namun, banyak dari wilayah ini justru terancam oleh rencana tambang atau stagnasi akibat minimnya infrastruktur antar pulau.
Baca juga: Raja Ampat dan Kutukan Sumber Daya
Menurut studi KKP & UNDP (2022), potensi ekonomi biru Kepri bisa mencapai Rp 6–8 triliun per tahun, terutama dari sektor wisata berkelanjutan, budidaya laut, dan konservasi.
Jumlah ini bahkan melebihi APBD Kepri tahun 2024 yang tercatat sekitar Rp 4 triliun. Jadi, mengapa kita masih terpaku pada pasir dan kuarsa, yang merusak dan tidak terbarukan?
Alih-alih menggali isi perut bumi, Kepri seharusnya memperkuat konektivitas antarwilayah. Letaknya yang strategis di jantung Segitiga Emas Kepri–Singapura–Malaysia adalah peluang besar untuk menjadikan provinsi ini sebagai hub wisata dan logistik kelautan.
Namun, semua itu tak akan berarti jika pulau-pulau rusak dan tak tersambung satu sama lain, baik secara infrastruktur maupun ekosistem.
Investasi pada pelabuhan rakyat, sistem transportasi laut terintegrasi, dan digitalisasi informasi wisata akan memberi manfaat jangka panjang.
Bandingkan itu dengan masa hidup tambang pasir yang hanya beberapa tahun dan menyisakan lubang. Konektivitas adalah kunci investasi dalam pembangunan.
Kita butuh paradigma pembangunan regeneratif, bukan ekstraktif. Tidak semua yang ada di bawah tanah harus diangkat atau ditambang. Sebagian harus tetap tinggal—demi kehidupan jangka panjang.
Mindset pembangunan yang ekstraktif terlalu sering meninggalkan luka dibanding manfaat yang biasanya diperoleh jangka pendek.
Jika Raja Ampat hari ini bersuara atas nama ekologi dan keberlanjutan, maka Kepulauan Riau (Kepri) seharusnya menjadi pendengar yang bijak. Jangan tunggu giliran untuk menyesal.
Kita sudah melihat cukup banyak jejak tambang yang meninggalkan luka: lubang-lubang menganga, laut yang keruh, kehidupan desa pesisir yang makin sulit dan pelan-pelan ditinggalkan oleh generasi mudanya. Akhirnya hilang harapan.
Baca juga: Tambang Raja Ampat: Dugaan Pelanggaran Hukum Lingkungan dan Hak Masyarakat Adat
Keserakahan akan selalu memotori pembangunan yang tidak peduli keberlanjutan (sustainability).
Seperti yang pernah dikatakan Mahatma Gandhi, “Bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua manusia, tetapi tidak untuk memenuhi keserakahan satu orang”.
Ungkapan ini tepat untuk mengkritik kerakusan eksploitasi tambang atas nama pertumbuhan ekonomi yang tidak peduli lingkungan.
Raja Ampat memberi kita pesan: warisan atau berkah alam tidak selalu harus ditambang. Kadang, menjaga dan merawatnya justru memberi jauh lebih banyak daripada yang bisa dihitung dalam rupiah.
Dan Kepri, dengan semua keindahan dan potensi birunya, memiliki alasan kuat untuk menjadi contoh pembangunan yang sadar laut, sadar ruang, dan sadar masa depan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya