KOMPAS.com - Setiap hari lebih dari 50.000 kapal kargo mengarungi lautan dunia, mengangkut sekitar 90 persen dari semua barang yang diperdagangkan di seluruh dunia.
Itu mengapa pengiriman global bertanggung jawab atas 3 persen emisi gas rumah kaca dunia.
Jika industri pengiriman adalah sebuah negara, industri tersebut bahkan menempati peringkat keenam sebagai penghasil gas rumah kaca terbesar.
Berusaha mengurai permasalahan tersebut, peneliti dari University of New South Wales mencoba untuk menemukan rute yang lebih efisien bagi kapal kargo dan mengurangi dampak lingkungan dari transportasi laut.
Untuk menemukan rute tersebut, Associate Professor Shane Keating, seorang peneliti di bidang oseanografi dan matematika terapan di UNSW Sydney kemudian mengembangkan algoritma menggunakan pemodelan laut dan kecerdasan buatan (AI).
"Dengan prakiraan laut yang lebih baik, kapal dapat menggunakan kekuatan arus saat berlayar sehingga mengurangi penggunaan bahan bakar dan emisi," kata Keating, dikutip dari Tech Xplore, Selasa (17/6/2025).
Baca juga: Kapal Bertenaga Hidrogen Berpotensi Gantikan Pengiriman via Kargo, Kok Bisa?
"Algoritma ini seperti Google Maps untuk laut, memberikan rute paling efisien secara real time berdasarkan perilaku pusaran laut," katanya lagi.
Menurut Keating, arus putaran air laut atau yang sering disebut eddies ada di setiap cekungan samudra di seluruh dunia dan penyumbang utama (90 persen) dari total energi gerakan di lautan sehingga memiliki peran penting dalam dinamika dan sirkulasi laut secara keseluruhan.
Meski eddies sangat melimpah dan memiliki energi yang besar, model prakiraan arus laut saat ini belum mampu menggambarkan atau memprediksi eddies dengan baik.
Nah, dengan memprediksi pergerakan eddies secara akurat, kapal-kapal dapat merencanakan perjalanan mereka untuk menggunakan arus ini sebagai "dorongan" alami, sehingga menghemat bahan bakar, mengurangi emisi, dan meningkatkan efisiensi operasional.
Pemanfaatan eddies untuk rute yang lebih efisien ini juga dimungkinkan karena adanya peningkatan teknologi satelit yang dapat memantau pergerakannya dan memanfaatkan fenomena tersebut.
"Berkat data satelit yang lebih baik, kita sekarang memahami bahwa lautan adalah sistem yang sangat aktif dan kompleks, penuh dengan pusaran air raksasa (eddies) dengan berbagai ukuran dan kedalaman, yang pergerakannya mirip dengan badai di atmosfer," ungkap Keating.
Baca juga: Kapal Pesiar Bertenaga Hidrogen Pertama Di Dunia Akan Segera Diluncurkan
Lebih lanjut, industri pengiriman adalah urat nadi ekonomi global akan tetapi semua pengiriman itu memiliki jejak karbon yang sangat besar. Lebih dari satu miliar ton setara CO2 per tahun dilepaskan oleh industri pengiriman.
Organisasi Maritim Internasional, badan PBB yang mengatur industri pengiriman global telah menetapkan target nol emisi pengiriman pada tahun 2050, dengan penggunaan wajib bahan bakar tanpa emisi seperti hidrogen hijau dan metanol hijau.
Namun, perlu waktu untuk mengganti armada kapal niaga yang ada dengan kapal yang dapat menggunakan bahan bakar alternatif, dan, meskipun demikian, bahan bakar ini akan 6–10 kali lebih mahal daripada bahan bakar tradisional.
Teknologi yang ditawarkan Keating pun memungkinkan kapal untuk memangkas biaya dan emisi dengan melakukan penyesuaian kecil pada rute kapal untuk memanfaatkan arus alami.
Setelah menguji teknologinya pada lebih dari seratus kapal, ia menunjukkan ada penghematan bahan bakar yang konsisten hingga 20 persen.
"Ini menguntungkan bagi perusahaan pelayaran karena dapat menghemat uang dan memenuhi target pengurangan emisi tanpa modifikasi pada kapal atau perubahan dalam waktu transit kapal," paparnya lagi.
Baca juga: KKP Tangkap 2 Kapal Ikan Ilegal, Selamatkan Kerugian Rp 50,4 M
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya