Ini bukan kemajuan, melainkan kekerasan terselubung yang merenggut martabat manusia sebagai penjaga alam. Paradigma ini seperti bencana klimaks dalam ekosistem: deforestasi sawit memicu longsor, perumahan di resapan membanjiri kampung, menciptakan ketidakadilan di mana rakyat miskin jadi mangsa pertama.
Kritik filsafat menyoroti bahwa pembangunan semu meninggalkan jejak kekeringan moral, di mana beton menggantikan akar pohon keramat yang menahan tanah. Pengusaha dan pemerintah, terbutakan mitos kemajuan, lupa bahwa alam bukan komoditas, tapi mitra hidup.
Akar masalahnya adalah pengingkaran etis struktural, di mana modernisasi menganggap adat sebagai hambatan, padahal justru itulah benteng terhadap kehancuran. Narasi ini menuntut refleksi: tanpa etika, kemajuan hanyalah ilusi yang runtuh saat bumi membalas.
Baca juga: Kearifan Lokal Perlu Dilibatkan dalam Penanggulangan Krisis Iklim
Mengintegrasikan pengetahuan adat ke tata ruang, menjadikan tempat keramat kawasan lindung sejati, menyampaikan etika ekologis lewat pendidikan agar generasi muda tak terbutakan nafsu eksploitasi, memaksa pengusaha menjadikan keberlanjutan sebagai inti bisnis, dan bukan sekadar Corporate Social Responsibility (CSR) tak ada makna, serta menggerakkan masyarakat sipil untuk menyuarakan harmonisasi alam dan kehidupan, haruslah dilakukan secara terencana dengan mengingat bahwa hidup bukan untuk hari ini saja.
Bencana bukan takdir, melainkan panggilan alam, panggilan kehidupan mendatang, mengisyaratkan bahwa kita harus hidup selaras dengan alam, ataukah nanti bumi akan menuntut balik dengan kehancuran dahsyat.
Solusi filosofis ini meniru adaptasi ekosistem: pemerintah menciptakan regulasi yang menghormati tempat keramat sebagai area yang harus diperlakukan sebagai penanda ekologis, penanda banjir, dan menjadikan area pendidikan untuk membangun kesadaran seperti simbiosis generasi muda dengan alam.
Pengusaha harus bertransformasi dari "predator" menjadi mitra mutualisme melalui bisnis hijau, sementara masyarakat sipil jadi kekuatan klimaks yang dorong keseimbangan baru. Integrasi mutualisme akan mengalirkan narasi harapan, di mana pembangunan sejati lahir dari harmoni, bukan dominasi.
Dengan langkah ini, kita kembali memulihkan martabat agung manusia sebagai penjaga bumi, mengubah tragedi bencana menjadi kisah masa lalu untuk menyeimbangkan hidup baru dengan alam di masa depan.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya