Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/11/2023, 10:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Masyarakat yang mengikuti pemilihan umum (pemilu) diminta selektif dalam memilih pemimpin yang peduli terhadap isu kualitas udara, terutama polusi akibat emisi karbon.

Ajakan tersebut disampaikan Peneliti Politik dan Perubahan Sosial Center for Strategic and International Studies (CSIS) Edbert Gani Suryahudaya, sebagaimana dilansir Antara, Rabu (1/11/2023).

Gani mengatakan, meskipun kesadaran masyarakat mengenai polusi udara semakin meningkat, rupanya komitmen sektor politik terhadap isu itu masih belum memadai.

Baca juga: Kelompok Rentan Diimbau Tak Keluar Rumah saat Polusi Udara Memburuk

“Politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara. Tinggal bagaimana mereka yang punya akses, mereka yang punya kekuasaan, mereka yang punya relative bargaining power,” kata Gani.

“Kepada para politisi yang mau meng-capture (menawan) isu ini layak untuk diperbincangkan,” imbuhnya.

Gani menilai, isu polusi udara saat ini masih kurang mendapat perhatian dalam diskusi politik dibandingkan dengan isu-isu lain seperti lapangan kerja dan kebutuhan dasar.

Di satu sisi, dia melihat adanya potensi peningkatan kesadaran, terutama kalangan masyarakat kelas menengah perkotaan, seiring dengan munculnya dampak buruk polusi udara yang semakin nyata.

Baca juga: Cara Menanam Lidah Mertua, Tanaman Hias Penyerap Polusi Udara

Masyarakat umum, menurut Gani, semakin lama akan semakin peduli terhadap isu polusi udara dari waktu ke waktu.

“Sedangkan dari level pemerintah memang bisa dibilang lebih minim lagi, karena memang politisi maupun pemangku kebijakan kita masih sedikit sekali yang punya kesadaran terhadap isu polusi udara,” papar Gani.

Dia menilai, jalan panjang masih menyelimuti dimensi politik polusi udara di Indonesia. Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh adalah membuat masyarakat peduli tentang isu lingkungan.

Ketika isu lingkungan menjadi perhatian umum di antara warga, maka politisi tidak memiliki pilihan selain menghadapinya dengan serius.

Baca juga: Urbanisasi Tingkatkan Polusi Udara, Tata Ruang Mainkan Peran Penting

Gani mengungkapkan, hal yang perlu diperhatikan adalah bagaimana memobilisasi dan mengubah pola pikir serta cara pandang masyarakat terhadap hak mereka terhadap udara bersih.

Menurutnya, ketika pandangan publik terhadap udara bersih sudah semakin umum, maka itu harus dipenuhi oleh seorang politisi maupun pemangku kebijakan publik.

“Pada akhirnya nanti politisi pasti harus mengadopsi itu sebagai sebuah kebijakan karena kalau tidak dia tidak akan mendapatkan dukungan,” ucap Gani.

Dia menilai urgensi politisi maupun pemangku kebijakan terkait dengan polusi udara bisa terbilang masih minim.

Baca juga: Ilmuwan Temukan Mikroplastik di Awan, Udara Makin Tercemar

Di sisi lain, dia menilai Pemilu 2024 menjadi peluang untuk mengarusutamakan isu kualitas udara.

Gani menyarankan para tokoh yang memiliki pengaruh dan kekuatan tawar menjadikan isu kualitas udara sebagai topik sentral dalam diskusi politik.

“Paling penting adalah untuk orang-orang yang ingin mengadvokasi isu terkait polusi udara harus berpikir bagaimana kita memberikan insentif secara politik bagi para pemangku kebijakan,” tutur Gani.

“Jadi tidak bisa kita hanya sendiri saja berjuang untuk udara bersih, tapi mereka semua, karena yang menghirup udara bersih itu bukan cuma masyarakat saja, tapi elite, politisi, pengusaha, kita semua menghirup udara yang sama,” tambahnya.

Baca juga: Ingin Udara di Rumah Anda Bersih? Coba Terapkan Trik Ini

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com