JAKARTA, KOMPAS.com - Kesadaran akan dampak dari krisis iklim yang mengancam kehidupan manusia harus terus ditingkatkan.
Hal ini bisa dimulai dengan mengubah gaya hidup yang lebih ramah lingkungan, mulai dari tataran personal (individu), kelompok, korporat, hingga institusi Pemerintahan.
Khusus Pemerintahan, upaya untuk lebih adaptif dan fundamental terhadap perubahan iklim harus terus dilakukan melalui kebijakan-kebijakan atau pun rencana strategis pembangunan yang pro-keberlanjutan.
Mulai dari pembuatan peta jalan dan implementasi ekonomi hijau, pendanaan hijau, teknologi hijau, konstruksi hijau, hingga infrastruktur hijau.
Kebijakan-kebijakan tersebut diterapkan demi mengakomodasi kebutuhan terhadap sumber daya alam (SDA), terutama air dan lahan yang terus meningkat, seiring bertambahnya populasi.
Pada gilirannya, fenomena ini kian meningkatkan permasalahan-permasalahan lingkungan terutama yang dihadapi kawasan perkotaan.
Baca juga: Alarm Krisis Iklim Makin Kencang, Transisi Energi Mendesak Dilakukan
Namun faktanya, praktik develomentalisasi sebuah kawasan dinilai kurang memerhatikan nilai ekosistem. Keberadaan ruang terbuka hijau (RTH) pun seringkali belum termasuk prioritas dalam pengembangan suatu kawasan.
Efeknya adalah terjadinya ketidakseimbangan sistem lingkungan: air, tanah, dan udara yang menyebabkan kualitasnya makin menurun.
Padahal, sejumlah negara maju dalam satu dekade ini mulai menciptakan sebuah konsep untuk menjaga keberlangsungan sistem tersebut, yaitu dengan melaksanakan pembangunan infrastruktur hijau dan menerapkannya dalam rencana pembangunan kawasan.
Kurangi emisi karbon, Kementerian PUPR bangun infrastruktur hijau.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan.
Periksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.