JAKARTA, KOMPAS.com - Kualitas udara Jakarta dalam beberapa hari ini terpantau buruk dan tidak sehat. Hal ini tecermin dari indeks kualitas udara atau Air Quality Index (AQI) dengan polusi yang mencapai PM2.5.
Menurut data AQI, selama empat hari berturut-turut kualitas udara ibu kota negara ini terus memburuk. Bahkan sejak Minggu 11 Juni 2023 hingga Selasa 13 Juni 2023, kualitas udara Jakarta tidak sehat bagi kelompok sensitif.
Sementara hari Rabu 14 Juni 2023 Indeks AQI mencapai 153 dengan polutan utama PM2.5 dengan tingkat polusi tidak sehat.
Lantas, apa yang harus dilakukan?
Pengamat Tata Kota dan Lingkungan Universitas Trisakti Nirwono Joga memberikan rekomendasi kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, bahwa kota metropolitan ini harus fokus pada pembenahan transportasi yang menjadi penyebab polusi sebesar 46 persen.
Baca juga: 6 Taman Nasional Indonesia yang Jadi Situs Warisan Dunia UNESCO
Menurut Nirwono, salah satu pembenahan transportasi tersebut adalah dengan menerapkan kebijakan pembatasan kendaraan pribadi melalui perluasan ganjil-genap mobil dan motor se-Jabodetabek baik berbasis energi fosil maupun listrik.
Kemudian menerapkan parkir elektronik progresif, mewajibkan kendaraan lolos uji emisi, mewajibkan pembangunan garasi atau parkir komunal bagi pemilik gedung, dan mendorong integrasi seluruh transportasi publik melalui manajemen yang transparan dan profesional, sistem ticketing, strategi harga, dan infrastruktur penghubung.
"Hal ini juga harus didukung oleh pengembangan trotoar dan tata ruang permukiman di sekitar halte, stasiun, dan terminal agar penduduk Jakarta merasa aman dan nyaman berjalan kaki dan atau menggunakan transportasi publik," ucap Nirwono menjawab Kompas.com, Rabu (14/6/2023).
Rekomendasi strategis lainnya yang harus dilakukan Pemprov DKI Jakarta adalah penghentian dan pengalihan pembangkit listrik batubara dan diesel secara bertahap ke energi baru terbarukan (EBT) berupa energi surya atau hidro.
Baca juga: Dari Mana Saja Sumber Polusi Udara Jakarta?
"Polusi dari energi batubara dan diesel ini menjadi penyebab 31 persen polusi udara Jakarta," cetus NIrwono.
Jika ini berhasil, maka setidaknya sebanyak 77 persen sumber polusi udara bisa terselesaikan.
Namun, menurut Nirwno, upaya-upaya tersebut belum cukup. Pemprov DKI Jakarta harus mendukungnya dengan memperluas ruang terbuka hijau (RTH) yang memadai.
Mengutip catatan Dinas Pertamanan dan Kehutanan DKI Jakarta, RTH Jakarta hanya naik sedikit dari 9,8 persen (tahun 2012) menjadi 9,98 persen (pada 2022) dari total luas wilayah 661,5 kilometer persegi.
Sayangnya, Nirwono tidak melihat ada penambahan RTH signifikan hingga saat ini. Pada era Anies Baswedan saat menjabat sebagai gubernur, lebih banyak merevitalisasi taman-taman eksisting seperti Tebet Eco Park dan Program Taman Maju Bersama untuk menngantikan Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA).
Baca juga: 7 Cara Mengurangi Polusi Udara yang Berbahaya bagi Kesehatan
"Belum ada terobosan yang berarti," cetus Nirwono.
Padahal, gubernur sekarang bisa melakukan lebih banyak tindakan untuk menggenjot perluasan RTH Jakarta. Dari citra satelit menunjukkan, Jakarta masih memiliki potensi RTH publik 14 persen dan 16 persen potensi RTH privat.
Rinciannya; potensi RTH publik mencakup bantaran 13 sungai, 13 koridor rel Kereta utama, kolong jalan/jembatan layang, 109 situ/danau/embung/waduk, 20 waduk baru hingga 2030, serta pesisir pantai utara.
Sementara potensi RTH privat meliputi lahan-lahan terbengkalai atau dalam sengketa di koridor Thamrin-Sudirman, taman perkantoran, pusat perbelanjaan, taman rumah di Kebayoran, Menteng, Pondok Indah,
"Jika itu dilakukan, Jakarta bisa memiliki 30 persen RTH. Hal ini sesuai dengan Undang-undang (UU) Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mewajibkan sebuah kota memiliki 30 persen RTH dari total luas wilayah," tuntas Nirwono.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya