KOMPAS.com – Janji negara-negara di seluruh dunia dalam Perjanjian Paris agar suhu Bumi tidak memanas lebih dari 1,5 derajat celsius nampaknya tidak berada di jalur yang tepat.
Negara-negara di seluruh dunia gagal menetapkan tujuan mencegah pemanasan global yang lebih ambisius. Padahal, beberapa waktu terakhir suhu Bumi semakin memanas.
Diberitakan sebelumnya, awal Juni ini Bumi rupanya sudah mengalami lonjakan suhu yang drastis.
Baca juga: Eropa Jadi Benua yang Menghangat Paling Cepat karena Pemanasan Global
Copernicus Climate Change Service (C3S), sebuah misi bentukan Uni Eropa yang memantau perubahan iklim dan pemanasan global, melaporkan bahwa selama 11 hari pertama Juni, Bumi mencatat rekor suhu tertinggi sepanjang tahun ini.
C3S menyebutkan, suhu rata-rata global pada awal Juni 2023 ini melampaui ambang batas 1,5 derajat celsius yang sudah disepakati dalam Perjanjian Paris.
Ini bukan pertama kalinya suhu Bumi melampaui ambang batas 1,5 derajat celsius untuk sementara waktu.
Ambang batas 1,5 derajat celsius pertama kali terlampaui pada Desember 2015. Setelah itu, ambang batas terlampaui lagi pada musim dingin dan musim semi 2016 dan 2020.
Baca juga: Bagaimana Limbah Makanan Memperparah Perubahan Iklim dan Pemanasan Global?
Beberapa kota dan negara telah merasakan dampaknya akibat Bumi yang makin panas ini karena pemanasan global yang tak terkendali.
Pada Juni, ibu kota China, Beijing, mencatatkan suhu yang sangat panas. Selain itu, gelombang panas ekstrem juga melanda Amerika Serikat (AS), sebagaimana dilansir Reuters.
Beberapa bagian di Amerika Utara mengalami kenaikan suhu di atas rata-rata musiman bulan ini.
Kebakaran hutan yang terjadi di Kanada dan Pantai Timur AS menimbulkan asap kabut yang berbahaya. Total emisi karbon yang lepas akibat kebakaran itu diperkirakan mencapai rekor 160 juta metrik ton.
Baca juga: 6 Dampak Mengerikan Mencairnya Es Kutub Akibat Pemanasan Global
Di India, kematian akibat suhu tinggi yang terus-menerus dilaporkan meningkat. Panas ekstrem tercatat di Spanyol, Iran, dan Vietnam, menimbulkan kekhawatiran bahwa musim panas yang mematikan tahun lalu bisa kembali lagi.
Organisasi Meteorologi Dunia (World Meteorological Organization/WMO) memprediksi suhu Bumi bakal lebih sering melampaui ambang batas 1,5 derajat celsius dalam lima tahun ke depan.
WMO menyebutkan dalam rilisnya pada Mei ini bahwa ada kemungkinan 66 persen bahwa rata-rata suhu global dalam satu tahun antara 2023 hingga 2027 akan lebih dari 1,5 derajat celsius.
Selain itu ada kemungkinan 98 persen persen bahwa setidaknya satu tahun dari lima tahun ke depan akan menjadi tahun terpanas.
Baca juga: 7 Mitos Pemanasan Global dan Perubahan Iklim Beserta Fakta Penyangkalnya
Selain daratan yang merasakan sengatan panas yang tinggi, laut juga mengalami pemanasan yang intens karena fenomena El Nino dan beberapa faktor lainnya, termasuk pemanasna global.
Rata-rata suhu permukaan laut global mencapai 21 derajat celsius pada akhir Maret. Badan cuaca Australia memperingatkan bahwa suhu laut di Samudera Pasifik dan Hindia bisa lebih panas 3 derajat celsius dari biasanya pada Oktober.
Profesor fisika iklim di University of Leeds Piers Forster mengatakan, pemanasan global adalah faktor utama memanasnya suhu di darat dan laut.
Selain itu, fenomena El Nino, penurunan debu Sahara yang bertiup di atas lautan, dan penggunaan bahan bakar rendah sulfir di kapal-kapal pelayaran juga menjadi penyebabnya.
Baca juga: Terus Mencair, Salju Abadi Puncak Jaya Terancam Musnah Akibat Pemanasan Global
“Jadi secara keseluruhan, lautan dihantam oleh empat kali pukulan,” ucap Forster.
Laut yang lebih hangat juga menyebabkan lebih sedikit angin dan hujan, menciptakan lingkaran setan yang menyebabkan lebih banyak panas, kata ahli iklim di Georgia Institute of Technology Annalisa Bracco.
Suhu laut yang tinggi tahun ini disebabkan oleh kombinasi sempurna dari berbagai faktor dan dampak ekologisnya dapat bertahan lama.
“Lautan akan memiliki respons yang sangat lambat karena mengakumulasi (panas) secara perlahan serta menyimpannya untuk waktu yang lama,” kata Forster.
Baca juga: Pakai AC Bisa Tingkatkan Pemanasan Global, Ini Penjelasannya
Ahli klimatologi di University of New South Wales Australia Sarah Perkins-Kirkpatrick mengatakan, umat manusia hampir kehabisan waktu.
Beberapa pakar iklim mengatakan tahun ini juga terjadi beberapa kekeringan yang parah di seluruh dunia serta topan langka dan mematikan di Afrika.
Worldwide Fund for Nature, memperingatkan tentang kurangnya momentum yang mengkhawatirkan selama pembicaraan iklim di Bonn, Swiss, pada Juni.
Selain itu, hanya ada sedikit kemajuan yang dibuat pada isu-isu penting seperti bahan bakar fosil dan keuangan menjelang pembicaraan iklim COP28 di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA), pada November mendarang.
Baca juga: Efektifkah Insentif Kendaraan Listrik Mengurangi Pemanasan Global?
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya