Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pekan Pertama Juli Pecahkan Rekor Terpanas, Alarm Krisis Iklim Makin Nyaring

Kompas.com - 12/07/2023, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Pekan pertama Juli memecahkan rekor sebagai pekan terpanas sejak pencatatan suhu dilakukan oleh ilmuwan.

Bahkan, selama tiga hari pada awal Juli 2023, Bumi mengalami hari terpanas sepanjang sejarah sejak pencatatan dilakukan.

Untuk diketahui, Bumi sebelumnya mencatatakan rekor terpanasnya pada Agustus 2016. Kala itu, suhu rata-rata di seluruh dunia adalah 16,92 derajat celsius.

Baca juga: 3 Hari dalam Sepekan, Bumi Alami Hari Terpanas Sepanjang Sejarah

Akan tetapi pada Senin 3 Juli 2023, rekor hari terpanas terpecahkan di mana suhu rata-rata Bumi mencapai 17,01 derajat celcius.

Rekor hari terpanas kembali terpecahkan pada Selasa 4 Juli 2023 dengan suhu rata-rata Bumi mencapai 17,18 derajat celcius.

Dan pada Kamis 6 Juli 2023, rekor hari terpanas sepanjang sejarah kembali pecah setelah suhu rata-rata Bumi tercatat 17,23 derajat celsius.

Baca juga: Senin 3 Juli, Bumi Alami Hari Terpanas Sepanjang Sejarah

Para ilmuwan sangat khawatir karena suhu tinggi terjadi pada awal El Nino, fenomena menghangatnya lautan di Pasifik.

Kepala Iklim Internasional World Meteorological Organization (WMO) Christopher Hewitt mengatakan, situasi ini mengkhawatirkan karena El Nino bakal semakin memicu kenaikan suhu baik di darat maupun di lautan hingga akhir tahun ini.

“Ini adalah kabar yang mengkhawatirkan bagi planet ini,” kata Hewitt, sebagaimana dilansir VOA, Selasa (11/7/2023).

Baca juga: Perubahan Iklim Sebabkan Hujan Makin Lebat dan Cuaca Ekstrem, Bencana Mengintai

Dampak terasa

Ilustrasi pemanasan globalrottadana Ilustrasi pemanasan global

Dampak kenaikan suhu Bumi ini dirasakan oleh seluruh dunia. Suhu yang lebih tinggi dari biasanya tercatat di Kanada, Amerika Serikat (AS), Meksiko, beberapa Asia, dan Australia timur.

Selain suhu yang lebih tinggi, perubahan iklim menyebabkan pola cuaca yang lebih parah.

Beberapa wilayah juga mengalami cuaca yang jauh lebih kering dari biasanya pada Juni, seperti Eropa Tengah, Eropa Timur, Skandinavia, Rusia, Tanduk Afrika, Amerika Selatan, dan sebagian Australia.

Wilayah-wilayah tersebut mendapatkan curah hujan yang lebih rendah dari rata-rata sebelumnya.

Baca juga: Dampak Jangka Panjang Perubahan Iklim Berdasarkan Benua

Beberapa daerah di Amerika Utara juga lebih kering dari biasanya hingga menyebabkan kebakaran hutan besar-besaran, terutama di Kanada.

Ketika belahan dunia menghadapi cuaca panas dan kering, beberapa wilayah justru mengalami tingkat curah hujan yang jauh lebih tinggi dari biasanya.

Tingginya curah hujan dirasakan oleh Amerika Utara bagian barat, sebagian Asia Barat Daya, Jepang, Afrika Selatan, Brasil, Chile, Selandia Baru, dan sebagian Australia.

Bahkan, Jepang dilanda Topan Mawar dan Pakistan dilanda Topan Biparjoy. Di Eropa Selatan dan sebagian Rusia barat, curah hujan yang lebih tinggi dari perkiraan menyebabkan banjir bandang.

Baca juga: Krisis Keanekaragaman Hayati Tak Lepas dari Perubahan Iklim

Suhu laut mengkhawatirkan

Ilustrasi pemanasan global. Es di arktik mencair.SHUTTERSTOCK/FloridaStock Ilustrasi pemanasan global. Es di arktik mencair.

Para ilmuwan iklim sangat prihatin dengan kenaikan suhu laut yang tak terduga, terutama di Atlantik Utara.

Kepala Divisi Riset Iklim Dunia WMO Michael Sparrow mengatakan, suhu di Atlantik Utara belum pernah terjadi sebelumnya dan sangat memprihatinkan.

“(Suhu di sana) jauh lebih tinggi dari apa pun yang diprediksi. Ini akan berdampak pada ekosistem dan perikanan dan pada cuaca kita,” ucap Sparrow.

Baca juga: Eropa Jadi Benua yang Menghangat Paling Cepat karena Pemanasan Global

Temperatur yang lebih tinggi di Atlantik Utara menimbulkan konsekuensi yang besar berupa bencana yang lebih dahsyat, termasuk badai yang secara teratur melanda AS bagian timur.

Para ilmuwan juga mencatat mencairnya es laut di Antarktika secara masif. Es laut di Kutub Selatan tersebut mencapai level terendah sejak pemantauan satelit dimulai.

Ada selisih 2,6 juta kilometer persegi es Antarktika dibandingkan rata-rata, lebih dari dua kali penurunan yang terjadi pada 2022.

Kondisi berkurangnya laut es di Antarktika saat ini merupakan tahun terburuk dalam catatan.

Baca juga: Tahun 2023, Inggris Alami Juni Paling Panas Sepanjang Sejarah

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com