Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Wahyu Eka Styawan
Konsultan

Direktur WALHI Jawa Timur

Masa Depan Nelayan dan Biodiversitas Pulau-pulau Kecil di Jawa Timur Terancam

Kompas.com - 08/08/2023, 10:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PESISIR dan pulau-pulau kecil di Jawa Timur memiliki biodiversitas ekosistem laut yang terancam masa depannya. 

Dua pulau yang menjadi tapak penelitian, yakni Pulau Masalembu di Kabupaten Sumenep dan Bawean di Kabupaten Gresik.

Secara geografis, kedudukan Pulau Masalembu mendekati posisi ekuatorial (garis khatulistiwa), di dalam peta posisinya berada di dekat Pulau Kalimantan.

Sementara Bawean berada di titik tengah laut Jawa yang menghubungkan Jawa dan Kalimantan.

Karena letaknya yang unik, Pulau Masalembu dan Bawean memiliki biodiversitas habitat yang kaya, seperti keberadaan aneka jenis terumbu karang, mangrove, telu, pesisir litoral, rumput algae/seaweed dan daerah umbalan (upwelling area) yang menjadi penopang ikan dan non ikan yang selama ini menjadi tumpuan kehidupan warga.

Hampir mayoritas warga di kedua pulau ini berprofesi sebagai nelayan tradisional. Mereka masih menggunakan alat tangkap sederhana seperti jaring, pancing dan metode membuat rumah ikan atau rumpon.

Sebagian kecil warga lainnya menjadi petani rumput laut dan pencari kerang di pinggiran pantai.

Namun, hasil tangkapan laut warga di Masalembu dan Bawean mengalami penurunan signifikan dari tahun ke tahun. Dulunya, sekelompok nelayan bisa mendapatkan ikan rata-rata 1 ton, lalu menyusut menjadi 600-500 Kg.

Sementara untuk rumput laut dan jenis kerang-kerangan, warga mulai kesusahan mencarinya. Dampaknya, banyak warga beralih profesi. Tidak sedikit warga yang pergi ke luar pulau untuk mencari penghidupan lainnya.

Faktor penyebab

Ada empat faktor penyebab menurunnya hasil tangkapan nelayan. Pertama, kerusakan ekosistem laut Masalembu dan Bawean karena keberadaan kapal cantrang dan bom ikan.

Keberadaan kapal cantrang dan bom ikan juga memicu konflik antarnelayan.

Kedua, faktor lalu lalang kapal besar yang tidak mematuhi prosedur, serta tidak jelasnya zonasi.

Pada 2022, kapal bermuatan batu bara pernah tumpah di Masalembu sehingga mencemari perairan sekitar. Sementara di Bawean, kapal pengangkut barang dan batu bara juga merusak terumbu karang, padang lamun serta mencemari perairan sekitar.

Ketiga, faktor perubahan iklim menjadi ancaman tersendiri bagi nelayan. Dampak perubahan iklim begitu nyata bagi nelayan dan ekosistem laut Masalembu dan Bawean.

Peningkatan suhu laut telah mengakibatkan pemutihan terumbu karang dan menyebabkan terganggunya reproduksi ikan.

Selain itu, peningkatan permukaan air laut juga mengancam daratan pulau, menyebabkan terkikisnya daratan atau abrasi sampai ancaman rob yang menjadikan hidup nelayan semakin rentan.

Begitu pula cuaca yang tidak menentu sehingga nelayan kesulitan memprediksi musim tangkap serta meningkatkan risiko kecelakaan.

Keempat, faktor kebijakan pemerintah pusat dan daerah yang belum berupaya signifikan melindungi biodiversitas ekosistem laut kedua pulau tersebut. Penetapan zona lindung sampai zona tangkap nelayan tradisional juga belum ada.

Pemerintah pusat malah membuat kebijakan baru, yakni PP No 26 Tahun 2023 yang dipadukan dengan integrasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah daerah dan Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-pulau kecil.

Aturan tersebut menghidupkan kembali eksploitasi pertambangan, baik mineral maupun minyak dan gas. Hampir seluruh perairan pantai utara Jawa dan Madura sudah dikaveling konsesi migas dan terbaru muncul konsesi tambang pasir laut.

Berangkat dari keempat faktor tersebut, maka sudah seharusnya ada perubahan tata kelola laut dan upaya menjaga ekosistem laut Masalembu dan Bawean.

Berpihak pada nelayan dan ekosistem

Beberapa langkah perlu dilakukan untuk melindungi ekosistem laut di kedua pulau tersebut. Pertama, melakukan upaya dan tindakan tegas kepada kapal cantrang atau aktivitas penangkapan ikan yang tidak berkelanjutan.

Pemerintah perlu memperbaiki regulasi mengenai penangkapan ikan serta sosialisasi ke pelaku usaha untuk menggunakan alat tangkap yang tidak merusak.

Kedua, perlu ada regulasi yang mendorong perlindungan kawasan Masalembu dan Bawean. Contohnya penetapan kedua kawasan itu sebagai zona tangkap nelayan tradisional.

Ketiga, perlu segera menetapkan kawasan laut Masalembu dan Bawean sebagai kawasan ekosistem esensial atau lindung. Penetapan ini akan memberikan perlindungan bagi biodiversitas laut di kedua pulau itu.

Regulasi itu nantinya akan memaksa perubahan zona rute kapal pengangkut batu bara dan barang, supaya tidak sembarangan melintasi zona tangkap nelayan tradisional dan kawasan lindung.

Keempat, meninjau ulang dan mencabut PP No. 26 Tahun 2023 terkait tambang dan ekspor pasir laut. Aturan tersebut dapat semakin memperparah kondisi ekosistem laut Masalembu dan Bawean.

Penurunan ekosistem tentu juga menjadi ancaman bagi masa depan nelayan tradisional di kedua pulau kecil tersebut.

Masa depan ekosistem pulau-pulau kecil menjadi tanggung jawab bersama. Di tengah situasi yang semakin tidak menentu, dibutuhkan kebijakan yang benar-benar berpangkal pada kondisi nyata di lapangan serta berorientasi keberlanjutan ekosistem.

Kedua pulau tersebut adalah benteng terakhir biodiversitas laut di Jawa Timur, tempat yang menyimpan aset terbesar peradaban maritim. Sudah seharusnya menjadi perhatian dan benar-benar diupayakan untuk dijaga keberlanjutannya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com