KOMPAS.com – Beberapa waktu lalu, lembaga antariksa AS, National Aeronautics and Space Administration (NASA), menyebutkan bahwa Juli 2023 merupakan bulan terpanas sepanjang sejarah sejak pencatatan dilakukan pada 1880.
Secara keseluruhan, suhu rata-rata Juli 2023 naik 0,24 derajat celsius daripada bulan Juli lainnya dalam catatan NASA. Suhu rata-rata Juli 2023 juga meningkat 1,18 derajat celsius lebih hangat daripada rata-rata Juli antara 1951 hingga 1980.
Semakin memanasnya bumi tak lepas dari efek perubahan iklim dan pemanasan global yang disebabkan oleh aktivitas manusia. Tingginya emisi gas rumah kaca (GRK) yang lepas ke atmosfer membuat panas matahari lebih banyak terperangkapn di Bumi.
Baca juga: Emil Salim: Tinggalkan Program Tak Penting, Fokus Atasi Perubahan Iklim
Pada 2015, negara-negara di dunia secara ambisius sepakat untuk mencegah kenaikan suhu Bumi melebihi 15 derajat celsius dibandingkan masa pra-industri.
Akan tetapi, target tersebut dikhawatirkan meleset karena masih banyak emisi GRK yang lepas ke atmosfer dan belum ada aksi yang betul-betul signifikan dari negara-negara di dunia.
Dilansir dari Reuters, rata-rata suhu Bumi saat ini sudah naik 1,15 derajat celsius bila dibandingkan masa pra-industri.
Bahkan di beberapa wilayah, dalam beberapa tahun terakhir penduduknya sudah merasakan suhu regional yang melampaui batas 1,5 derajat celsius.
Beberapa wilayah tersebut seperti Eropa, Kutub Utara, sebagian besar Afrika, Amerika Utara, Timur Tengah, Asia, dan sebagian Amerika Selatan.
Baca juga: Begini Strategi Pembangunan Berketahanan Iklim dari Bappenas
Sejumlah ilmuwan mengatakan kepada Reuters, penduduk yang tinggal di kawasan tersebut sangat terdampak suhu yang tinggi dan merasakan berbagai bencana seperti kekeringan, banjir, badai, dan bencana hutan.
“Banyak orang yang tinggal di daerah yang sudah menghangat lebih dari 1,5 derajat celsius,” kata Robert Rohde, kepala ilmuwan di Berkeley Earth, kelompok penelitian non-profit yang berbasis di AS.
“Dan alasan utama untuk ini adalah bahwa daratan menghangat lebih cepat daripada lautan,” sambungnya.
Dengan suhu yang bervariasi dari hari ke hari, sulit bagi siapa pun untuk memperhatikan perubahan suhu regional dan jangka panjang dengan kenaikan 1,5 derajat celsius.
Namun peningkatan suhu regional di daratan semakin menambah cuaca ekstrem bagi 8 miliar penduduk Bumi.
Baca juga: Pidato Presiden Dinilai Belum Tunjukkan Keadilan Iklim
Sebelumnya, Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, era saat ini bukan lagi pemanasan global, tapi sudah menjadi pendidihan global.
Dan akan ada semakin banyak orang merasakan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius atau lebih sepanjang tahun.
Francesco Tubiello, ahli statistik senior di Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), mengatakan sejumlah negara dengan populasi gabungan hampir 3 miliar jiwa terkena pemanasan lebih dari 1,5 derajat celsius pada 2022.
Dia membandingkan tahun 2022 dengan suhu yang lebih dingin pada 1951 hingga 1980, yang merupakan data dasar FAO dan NASA.
Ketika periode tersebut, suhu global sudah meningkat sekitar 0,3 derajat celsius sejak masa pra-industri.
Dalam laporannya pada 2018, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) memperkirakan bahwa antara 20 hingga 40 persen populasi dunia pernah merasakan kenaikan suhu 1,5 derajat celsius, setidaknya dalam satu musim.
Baca juga: Dampak Perubahan Iklim Sangat Nyata, Banyak Wilayah Indonesia Tergenang Permanen
Selain di daratan, lautan juga merasakan kenaikan suhu yang signifikan. Namun, pemanasan yang terjadi di lautan seringkali diabaikan.
Laporan PBB, misalnya, cenderung merujuk pada beberapa benua seperti Eropa dan Afrika yang memanas lebih cepat dibandingkan rata-rata global.
Akan tetapi, laporan tersebut tidak menyebutkan bahwa hampir semua daratan memanas lebih cepat dibandingkan rata-rata global, termasuk lautan.
Baca juga: Perubahan Iklim Bikin Kebakaran Hutan di Eropa Makin Ganas
Zeke Hausfather, ilmuwan iklim di Breakthrough Institute, mengatakan angin laut yang sejuk dapat membantu mengimbangi laju pemanasan di dekat pantai.
“Orang-orang cenderung tinggal secara tidak proporsional di dekat daerah pesisir, yang cenderung memiliki tingkat pemanasan yang lebih rendah karena kedekatannya dengan lautan,” kata Hausfather.
Hausfather turut menjelaskan pengalaman rata-rata orang yang mengalami pemanasan dalam jangka panjang.
IPCC memperkirakan, ada 900 juta jiwa tinggal di dataran rendah pesisir, termasuk di beberapa kota besar seperti Tokyo, Mumbai, New York, Shanghai, Lagos, dan Buenos Aires.
Baca juga: Pidato Jokowi tentang Hilirisasi Nikel, Walhi: Tak Peduli Krisis Iklim
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya