KOMPAS.com - 23,7 persen pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara di Indonesia merupakan PLTU captive.
PLTU captive adalah pembangkit listrik batu bara yang dioperasikan dan dipakai di luar jaringan listrik oleh pelaku industri.
Temuan tersebut merupakan hasil laporan terbaru dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM).
Baca juga: PLTU Batu Bara Terakhir di Indonesia Pensiun 2058
Laporan bertajuk "Emerging captive coal power in Indonesia: Dark clouds on clean energy’s horizon" tersebut dirilis pada 20 September 2023.
Dalam laporan tersebut, CREA dan GEM menyebutkan Indonesia memiliki kapasitas terpasang PLTU batu bara sebesar 45.638 megawatt (MW) dengan jumlah unit 249.
Dari jumlah tersebut, 76,3 persen atau 34.817 MW di antaranya adalah untuk kebutuhan listrik.
PLN memiliki 83 unit dengan kapasitas terpasang 20.326 MW. Sedangkan produsen listrik swasta mengoperasikan 49 unit PLTU batu bara dengan kapasitas terpasang 14.491 MW.
Baca juga: Aktivis Desak OJK Keluarkan PLTU Batu Bara dari Revisi Taksonomi Hijau
Sisanya, 117 unit dengan kapasitas terpasang 10.821 MW, merupakan PLTU captive.
Dalam laporannya, CREA dan GEM melaporkan bahwa kapasitas terpasang PLTU captive meningkat drastis salam 10 tahun terakhir.
PLTU captive melonjak hampir dua kali lipat, dari 1,4 gigawatt (GW) pada 2013 menjadi 10,8 GW pada 2023.
Pesatnya perkembangan tersebut menjadikan Indonesia mengalami peningkatan PLTU captive hampir lima kali lebih cepat dibandingkan negara lain di dunia.
Baca juga: PLTU di Kawasan Industri Hijau Berpotensi Bikin Rugi Rp 3,93 Triliun
Ironinya adalah, 7.273 MW atau 67,21 persen alias lebih dari separuh PLTU captive digunakan untuk menyuplai smelter nikel, komponen penting dalam baterai.
Sebagaimana diketahui, baterai menjadi salah satu teknologi penting untuk transisi energi.
Kawasan Indonesia Timur seperti Sulawesi, Maluku, Nusa Tenggara, dan Papua menjadi wilayah terbanyak dengan PLTU captive.
Mayoritas PLTU captive, yakni 86,3 persen, terletak di Indonesia Timur, wilayah dengan smelter logam termasuk nikel yang sedang bermekaran.
Baca juga: PLTU Batu Bara Ditinggal, Penambahan Pembangkit Listrik Fokus ke EBT
"Indonesia merupakan pemasok utama logam-logam penting yang dibutuhkan untuk transisi energi terbarukan, namun banyak fasilitas smelter yang sudah beroperasi maupun yang sedang direncanakan masih menggunakan tenaga batu bara," tulis para peneliti CREA dan GEM dalam laporannya.
Lebih dari separuh usulan penambahan kapasitas PLTU batu bara hingga Juli 2023 adalah untuk kebutuhan captive.
Berdasarkan dataset terbaru, 14,4 GW kapasitas PLTU Batu bara captive berstatus diusulkan atau sedang dalam tahap konstruksi.
Di satu sisi, Indonesia berkomitmen untuk mencapai netralitas karbon atau net zero emission (NZE) pada tahun 2060, salah satu upayanya adalah melakukan transisi energi.
Baca juga: Upaya Pengurangan Konsumsi Batu Bara PLTU Terkendala Ketersediaan Biomassa
CREA dan GEM menyebutkan, upaya pemerintah Indonesia untuk beralih dari batu bara dan bertransisi ke energi bersih sampai saat ini masih terbatas pada sektor ketenagalistrikan
Laporan tersebut menyebutkan, pemerintah belum menetapkan rencana untuk menghentikan PLTU captive di sektor industri secara tepat waktu.
"Kesenjangan yang bermasalah ini diperjelas oleh kebijakan dan peraturan yang ada, yang mengizinkan pengembangan PLTU batu bara baru untuk industri terintegrasi dalam kondisi tertentu," ujar para peneliti CREA dan GEM dalam laporannya.
Baca juga: Penelitian: Co-firing Bukan Solusi Efektif Pangkas Emisi dan Polusi PLTU Batu Bara
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya