KOMPAS.com – Pemerintah Provinsi Papua dan Papua Barat didorong untuk menurunkan angka perkawinan usia muda untuk menekan prevalensi stunting.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo pada Kamis (28/9/2023), sebagaimana dilansir Antara.
Berdasarkan data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022, prevalensi stunting Provinsi Papua meningkat dari 29,5 persen pada 2022 menjadi 34,6 persen pada 2022.
Baca juga: Jakarta Pusat Targetkan Nol Stunting Sebelum 2024
Sedangkan di Provinsi Papua Barat juga meningkat dari 26,2 persen pada 2021 menjadi 30 persen pada 2022.
Melihat kondisi tersebut, Hasto mendorong pemerintah dan masyarakat agar bekerja keras untuk menurunkan perkawinan usia muda, terutama di Tolikara, Asmat, Mappi, dan di sejumlah daerah lain seperti pegunungan tengah yang angkanya masih cukup tinggi.
Hasto menambahkan, Tim Pendamping Keluarga (TPK) juga berperan penting untuk menurunkan perkawinan usia muda guna percepatan penurunan stunting.
Saat ini, jumlah TPK di sana tercatat 17.394 tim yang masing-masing terdiri dari bidan, kader Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), dan kader Keluarga Berencana (KB).
Baca juga: Ayah Berperan Penting dalam Tumbuh Kembang Anak Cegah Stunting
Hasto menuturkan, para wali kota dan bupati bisa menggerakkan Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) dan dihubungkan dengan TPK.
“Sehingga setiap saat TPK bisa mendampingi ibu-ibu yang berisiko tinggi melahirkan anak stunting,” papar Hasto.
Menurut Hasto, untuk mencegah stunting, TPK harus mendata mulai dari calon pengantin.
Sejauh ini, masih sedikit para calon pengantin di Papua yang mendaftar pada aplikasi Elektronik Siap Nikah Siap Hamil (Elsimil). Ha; itu tak lepas dari kondisi geografis di sana.
Baca juga: Isu Penanganan Stunting Perlu Dibahas dalam Debat Capres
Hasto juga menyebutkan, gubernur perlu memperhatikan wilayah dengan angka kesuburan total atau total fertility rate (TFR) yang masih tinggi.
“Di Asmat, angka TFR juga paling tinggi. Artinya jumlah anak dalam keluarga yang ada di Asmat memang tertinggi di Papua, sehingga menyebabkan stunting juga tinggi," kata dia.
Sebagai informasi, angka kesuburan total di Asmat yakni 4,22 dengan prevalensi stunting 54,5 persen.
Menurut Hasto, selain angka kesuburan total yang perlu diatur, jarak kelahiran yang ideal dan pemberian ASI eksklusif juga harus diberikan.
Baca juga: Penganggaran Stunting di Daerah Harus Transparan dan Jelas
“Pengukuran berat dan tinggi badan anak juga harus dilakukan oleh tenaga-tenaga kesehatan yang terlatih, profesional dan tepat agar mendapatkan hasil yang baik,” ucap Hasto.
Asisten Deputi Bidang Ketahanan Gizi dan Promosi Kesehatan Kementerian Koordinator bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Jelsy Marampa menuturkan, pengukuran harus seragam dengan alat antropometri.
“Tentu kita harus pantau di lapangan, dan kita meyakinkan tenaga-tenaga yang ada di lapangan untuk melakukan sesuai dengan petunjuk atau standar yang sudah ada,” ujar Jelsy.
Baca juga: Waspada Gizi Buruk pada Anak, Cegah Stunting Sebelum Terlambat
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya