KOMPAS.com - Suhu Bumi semakin meningkat dan memperparah perubahan iklim. Transisi energi dari fosil ke energi terbarukan mendesak dilakukan secara menyeluruh.
Hal tersebut disampaikan Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati dalam diskusi daring Forum Merdeka Barat 9, Senin (16/10/2023).
Menurut Dwikorita, sejak 2000 sampai 2023 terjadi kenaikan suhu Bumi rata-rata 0,3 derajat celsius.
Baca juga: Pangan Lokal Jadi Solusi Krisis Pangan, tapi Ada Hambatan
Peningkatan suhu Bumi disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) dari pembakaran bahan bakar energi fosil seperti batu bara dan sejenisnya.
Berdasarkan data Food and Agriculture Organization (FAO), jika kenaikan suhu global mencapai 3,5 derajat celsius, maka akan terjadi krisis pangan global.
Hal ini akan berdampak pada 500 juta petani skala kecil yang memproduksi 80 persen pangan dunia, tak terkecuali Indonesia.
"Krisis ini nyata bila tidak ada perubahan dalam sepuluh tahun ke depan atau kurang dari itu, suhu permukaan diprediksi bisa lebih panas lagi dengan peningkatan rata-rata mencapai 3,5 derajat celcius," kata Dwikorita.
Dwikorita menjelaskan, BMKG menemukan adanya kenaikan konsentrasi emisi GRK di atmosfer yang luar biasa sebagai penyebab kenaikan suhu Bumi.
Baca juga: Pemerintah Harus Jamin Akses Masyarakat Beli Beras saat Harga Pangan Naik
Lonjakan peningkatan emisi GRK didasarkan pengukuran pada Mei 2020 - 2022 di kawasan hutan Bukit Kototabang, Palu, dan Sorong yang secara umum mengalami kenaikan setiap tahunnya.
Dalam dua tahun, laju peningkatan rata-rata paling tinggi terjadi di Bukit Kototabang dengan nilai 3,12 ppm per tahun.
Sedangkan laju peningkatan rata-rata di Palu dan Sorong berturut-turut sebesar 2,2 ppm per tahun dan 1,8 ppm per tahun.
Diketahui, setiap tahun konsentrasi emisi GRK di atmosfer meningkat 3,12 ppm per juta.
1 ppm (part per million) adalah satu bagian dari sesuatu yang terkandung dalam satu juta bagian lainnya. Jadi, berarti ada 3,12 bagian emisi GRK dalam satu juta bagian atmosfer.
Baca juga: Tantangan Food Estate Indonesia Wujudkan Ketahanan Pangan Global
Terlepas dari fenomena El Nino, kenaikan suhu tersebut sudah semakin memperparah kekeringan ekstrem yang sedang melanda Indonesia saat ini.
Kekeringan yang terjadi menimbulkan dampak luar biasa, seperti menyebabkan kesulitan air bersih dan penurunan produktivitas pertanian di berbagai wilayah, termasuk di Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.
"Faktanya ancaman kekeringan di Indonesia yang diprakirakan berlangsung hingga Januari-Maret 2024 ini baru sebagian pendahuluan," papar Dwikorita.
"Jika kenaikan suhu global tidak dikendalikan, maka ancaman kekeringan akan semakin parah di masa depan," sambungnya.
Untuk mengurangi risiko kekeringan dan krisis pangan, maka perlu ada perubahan gaya hidup dengan mulai beralih menggunakan energi hijau yang ramah lingkungan dan tak menghasilkan emisi GRK.
Baca juga: Irjen Kementan: 20 Persen Dana Desa untuk Sektor Pangan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya