KOMPAS.com - Transisi energi dapat meningkatkan produktivitas ekonomi khususnya pada sektor pengguna jasa rekayasa, pengadaan, dan konstruksi atau engineering, procurement, and construction (EPC).
Hal tersebut disampaikan peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus dalam diskusi publik virtual di Jakarta, Selasa (14/11/2023).
"Berdasarkan hasil analisis model computable general equilibrium (CGE), transisi energi sebenarnya dapat meningkatkan produktivitas ekonomi. Hal ini terlihat dari meningkatnya pertumbuhan ekonomi dan indikator makro lainnya," kata Ahmad, sebagaimana dilansir Antara.
Baca juga: Transisi Energi, Menagih Janji Negara Maju dan Memperkuat Aliansi Baru
Hasil analisis yang dilakukan Indef menunjukkan, penurunan konsumsi energi beremisi karbon yang diiringi dengan peningkatan konsumsi energi baru terbarukan (EBT) pada sektor pengguna EPC akan berdampak positif terhadap kinerja makro ekonomi.
Dengan menerapkan skenario tersebut, menurut proyeksi Indef, maka pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) akan naik sebesar 0,075 persen dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga naik 0,0283 persen.
Selain itu, pertumbuhan investasi agregat juga akan meningkat 0,295 persen.
"Mungkin kita selama ini memandang bahwa transisi energi itu masih berbiaya tinggi atau investasinya mahal, belum berani ada yang memulai, tetapi ternyata secara hitung-hitungan modal ekonomi dengan menggunakan data input-output, ini bisa meningkatkan produktivitas dan bisa meningkatkan output," kata Ahmad.
Baca juga: Capres Terpilih Dirigen Orkestrasi Transisi Energi
Pertumbuhan output pada sektor pengguna EPC juga akan berdampak positif apabila transisi disertai dengan peningkatan konsumsi EBT.
Industri batu bara dan kilang migas menjadi industri dengan perkiraan kenaikan output tertinggi sebesar 1,139 persen dan diikuti oleh industri kenetagalistrikan sebesar 0,865 persen.
Ahmad memandang, peluang pasar akan terbuka lebih besar apabila transisi energi terwujud, terutama pada industri manufaktur.
Hal tersebut dikarenakan negara mitra menginginkan produk industri yang mengedepankan keberlanjutan.
Baca juga: Transisi Energi Harus Berbasis Keberlanjutan dan Pelibatan Warga Lokal
Dia menilai, daya saing produk-produk ekspor justru akan semakin berkurang jika Indonesia terlambat atau cukup lama dalam melakukan transisi energi.
Oleh sebab itu, diperlukan upaya untuk mempercepat transisi energi pada sektor industri manufaktur.
"Tetapi kalau kita sesegera mungkin melakukan transisi energi, khususnya dalam sektor industri yang diawali dengan rancang bangun ideal dalam penerapan transisi energi, ini diharapkan kita akan semakin diterima dalam perdagangan internasional sehingga produk-produk ekspor kita juga tetap bisa kompetitif," kata Ahmad.
Baca juga: 3 Faktor Keberhasilan Transisi Energi: Dekarbonisasi, Desentralisasi, dan Digitalisasi
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya