KOMPAS.com – Konsentrasi emisi gas rumah kaca (GRK) global pada 2022 memecahkan rekor. Upaya untuk membendung perubahan iklim terancam gagal.
Untuk kali pertama, konsentrasi karbon dioksida pada 2022 melonjak 50 persen lebih tinggi dari era pra-industri.
Laporan tersebut disampaikan Organisasi Meteorologi Dunia atau World Meteorological Organization (WMO) dalam Greenhouse Gas Bulletin terbarunya yang dirilis Rabu (15/11/2023).
Baca juga: Emisi GRK China Bakal Menurun Struktural Mulai 2024
Selain karbon dioksida, metana dan dinitrogen oksida pada 2021 hingga 2022 juga mengalami peningkatan tertinggi.
Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas mengatakan, dari berbagai jenis GRK, karbon dioksida telah menyumbang sekitar dua pertiga potensi pemanasan global.
“Potensi pemanasan metana kurang dari 20 persen, dan dinitrogen oksida, yang merupakan gas ketiga, bertanggung jawab atas 6 persen,” kata Taalas, sebagaimana dilansir VOA.
Taalas menambahkkan, karbon dioksida tidak bisa dianggap remeh karena lifetime-nya di atmosfer bisa mencapai ribuan tahun.
Baca juga: Emisi Global Diprediksi Hanya Turun 2 Persen 2030, Jauh dari Target
“Diperlukan waktu ribuan tahun untuk menghilangkan karbon setelah dilepaskan ke atmosfer,” tutur Taalas.
Dia menuturkan, dunia sedang menuju ke arah yang salah meskipun telah ada peringatan selama puluhan tahun dari komunitas ilmiah.
“Tingkat konsentrasi GRK saat ini menempatkan kita pada jalur peningkatan suhu jauh di atas target Perjanjian Paris pada akhir abad ini,” ujarnya.
“Hal ini akan disertai dengan cuaca yang lebih ekstrem, termasuk panas dan curah hujan yang hebat, pencairan es, kenaikan permukaan laut, serta panas dan pengasaman laut,” sambungnya.
Baca juga: 2 Kunci Melawan Perubahan Iklim: Restorasi Hutan dan Pangkas Emisi
Pada Rabu, jurnal The Lancet menerbitkan laporan bahwa krisis iklim mengancam akan mengganggu kemajuan kesehatan masyarakat, menimbulkan dampak buruk bagi kehidupan dan penghidupan manusia.
Meningkatnya kerusakan akibat cuaca ekstrem membahayakan ketahanan air dan produksi pangan. Jutaan orang berisiko mengalami kekurangan gizi.
Menurut The Lancet, selombang panas dan kekeringan yang lebih sering terjadi, menyebabkan 127 juta lebih orang mengalami kerawanan pangan tingkat sedang hingga parah di 122 negara.
Selain itu, perubahan dan krisis iklim mempercepat penyebaran penyakit menular yang mengancam jiwa.
Baca juga: PLTS Terapung Cirata Pangkas Emisi Karbon 214.000 Ton per Tahun
Para ilmuwan memperkirakan, suhu global akan meningkat sebesar 2,5 hingga 3 derajat celsius pada akhir abad ini.
Perkiraan tersebut jauh di atas tujuan Perjanjian Paris yang menargetkan suhu Bumi tidak naik 1,5 derajat celsius di atas tingkat pra-industri.
Taalas menuturkan, perubahan iklim ini bukan hanya masalah suhu, melainkan sebuah perubahan besar dan luas bagi kehidupan makhluk hidup.
“Seluruh planet ini mengalami peningkatan gelombang panas, sekitar setengah dari planet ini menghadapi peningkatan kejadian banjir dan sepertiga dari planet ini menghadapi peningkatan kekeringan,” tutur Taalas.
Baca juga: Serapan Emisi GRK Ditarget Seimbang 2030, Sektor Hutan Butuh Investasi Rp 219,66 Triliun
Dia menggarisbawahi, beberapa negara di dunia mengalami peningkatan ancaman kekeringan. Benua Afrika bahkan dilanda kekeringan dan banjir dalam skala besar.
Untuk memitigasi dampak perubahan iklim, Taalas mengatakan Afrika harus menekankan adaptasi iklim.
“Dari pihak kami, salah satu cara ampuh untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim adalah dengan meningkatkan layanan peringatan dini. Dan banyak negara Afrika memiliki rencana adaptasi nasional,” kata Taalas.
“Misalnya, di negara-negara seperti Etiopia dan Kenya, mereka sudah mulai menggunakan irigasi untuk meningkatkan pertanian mereka. Dan itu adalah salah satu cara untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim,” jelas Taalas.
Baca juga: Percepatan Aksi Iklim Penting Guna Mewujudkan Emisi Nol Bersih
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya