Planet ini mencatat periode tiga bulan terpanas di belahan bumi utara dari Juni hingga Agustus tahun ini. Bahkan tahun 2023 diperkirakan akan menjadi salah satu tahun terpanas.
Gelombang panas yang mencapai rekor tertinggi dirasakan di sebagian besar wilayah Eropa, menyebabkan kebakaran hutan yang merusak dan diikuti oleh hujan badai yang merusak.
Lebih dari 10.000 orang tewas akbiat banjir besar ketika Badai Daniel melanda Libya. Sementara Hong Kong, Taiwan, dan China selatan diterjang dua topan: Saola dan Haikui.
Besarnya kerusakan dan kerugian yang dialami serta momok hari-hari buruk yang akan datang akan menghantui perundingan ini.
Baca juga: Brasil Akan Minta Dana Konservasi Hutan Jumbo dalam COP28
Salah satu tanda tanya terbesar yang menghantui COP28 adalah peran taipan-taipan minyak yang menduduki kursi terbesar konferensi tersebut.
Presiden COP28 Sultan Al Jaber akan memimpin perundingan tersebut, sekaligus tetap menjabat sebagai bos perusahaan minyak milik UEA, ADNOC.
Dualitas inilah yang telah memicu kemarahan di kalangan aktivis dan kelompok pendukung lingkungan hidup.
Dualitas tersebut juga menimbulkan keraguan atas kelangsungan perundingan global untuk menghasilkan agenda hijau yang ambisius.
Di Dubai, negara-negara anggota Uni Eropa akan memimpin upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara “berkelanjutan”. Apa arti sebenarnya dari hal ini masih belum dapat didefinisikan.
Negara-negara produsen minyak telah menghalangi upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.
Pada COP sebelumnya, bahasa dalam perjanjian akhir telah dipermudah dalam hal konsesi kepada negara-negara produsen minyak. Dan persaingan serta penolakan yang sama diperkirakan akan terjadi kali ini.
Terlepas dari itu, sistem energi dunia sedang berubah, meskipun terjadi krisis energi global yang dipicu oleh perang Ukraina.
International Energy Agency (IEA) melaporkan pada Oktober bahwa bahan bakar fosil masih menyumbang sekitar 80 persen dari seluruh konsumsi energi.
Namun investasi pada energi ramah lingkungan telah meningkat sebesar 40 persen sejak 2020. Momentum ini dapat menyebabkan penggunaan bahan bakar fosil mencapai puncaknya sebelum 2030, menurut temuan IEA.
Pelemahan perekonomian China juga dapat mengakibatkan penurunan permintaan bahan bakar fosil global dan penurunan emisi yang cukup signifikan untuk mengubah arah perubahan iklim.
Baca juga: Brasil Akan Minta Dana Konservasi Hutan Jumbo dalam COP28
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya