Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 27/11/2023, 14:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com – Mulai 30 November ini, selama dua pekan, para pemimpin dunia, perwakilan industri, dan pemodal akan berkumpul di Dubai, Uni Emirat Arab (UEA) untuk pertemuan KTT PBB COP28.

Tekanan terhadap para pemimpin untuk mengambil tindakan iklim dalam COP28 kali ini akan lebih tinggi dari sebelumnya.

Pasalnya, dunia berkali-kali memecahkan rekor suhu panas akibat pemanasan global. Bahkan, Sekjen PBB menyebut Bumi sudah bukan lagi memanas, namun mendidih.

Selain suhu panas, Bumi juga mengalami serangkaian bencana besar di beberapa wilayah yang dipicu oleh iklim.

Tak cukup sampai situ, dunia juga menghadapi kebuntuan geopolitik dan konflik regional, seperti perang Rusia-Ukraina, serangan Israel ke Jalur Gaza, konflik Timur Tengah, dan lainnya yang menjadi tantangan besar.

Dunia berharap besar COP28 akan menghasilkan kesepakatan yang ambisius untuk melawan perubahan iklim. Dilansir dari Channel News Asia, berikut lima hal yang patut diperhatikan dalam COP28.

Baca juga: Presiden COP28 Bela Kehadiran Industri Besar: Semua Harus Diminta Pertanggungjawaban

1. Komitmen Perjanjian Paris

Untuk pertama kalinya, negara-negara diberi mandat untuk menunjukkan kemajuan mereka dalam menerapkan tujuan iklim ditandatanganinya Perjanjian Paris pada 2015.

Dalam Perjanjian Paris, emisi global harus dikurangi hampir setengahnya pada 2030 agar suhu Bumi tidak naik 1,5 derajat celsius untuk menghindari dampak terburuk perubahan iklim.

Penyampaian kemajuan negara-negara dalam targetnya di Perjanjian Paris akan menjadi momen penting dalam COP28.

Selama dua tahun terakhir, berbagai data telah dikumpulkan, dan penilaian teknis telah dilakukan untuk menghasilkan inventarisasi global.

Temuan awal cukup menyedihkan, kemajuan dalam mengurangi emisi karbon berjalan sangat lambat. Namun hal ini memberikan gambaran optimistis tentang peran perundingan global untuk mengubah arah tersebut.

Pada COP28, pemerintah akan meninjau laporan tersebut untuk terakhir kalinya, yang akan menjadi masukan bagi negosiasi mereka.

Kemungkinan besar, hal ini dapat membantu negara-negara mengubah arah atau mengatur ulang jalur mereka, jika diperlukan.

Baca juga: OIKN Luncurkan Cetak Biru Perubahan Iklim pada COP28 di Dubai

2. Suhu panas

Beberapa bulan setelah COP27 terakhir di Mesir, dunia semakin merasakan dampak nyata dari perubahan iklim.

Berbagai bukti menunjukkan, aktivitas manusia yang menyebabkan perubahan iklim adalah penyebab utama fenomena cuaca yang semakin intensif dan merusak.

Planet ini mencatat periode tiga bulan terpanas di belahan bumi utara dari Juni hingga Agustus tahun ini. Bahkan tahun 2023 diperkirakan akan menjadi salah satu tahun terpanas.

Gelombang panas yang mencapai rekor tertinggi dirasakan di sebagian besar wilayah Eropa, menyebabkan kebakaran hutan yang merusak dan diikuti oleh hujan badai yang merusak.

Lebih dari 10.000 orang tewas akbiat banjir besar ketika Badai Daniel melanda Libya. Sementara Hong Kong, Taiwan, dan China selatan diterjang dua topan: Saola dan Haikui.

Besarnya kerusakan dan kerugian yang dialami serta momok hari-hari buruk yang akan datang akan menghantui perundingan ini.

Baca juga: Brasil Akan Minta Dana Konservasi Hutan Jumbo dalam COP28

3. Penyetopan bahan bakar fosil

Salah satu tanda tanya terbesar yang menghantui COP28 adalah peran taipan-taipan minyak yang menduduki kursi terbesar konferensi tersebut.

Presiden COP28 Sultan Al Jaber akan memimpin perundingan tersebut, sekaligus tetap menjabat sebagai bos perusahaan minyak milik UEA, ADNOC.

Dualitas inilah yang telah memicu kemarahan di kalangan aktivis dan kelompok pendukung lingkungan hidup.

Dualitas tersebut juga menimbulkan keraguan atas kelangsungan perundingan global untuk menghasilkan agenda hijau yang ambisius.

Di Dubai, negara-negara anggota Uni Eropa akan memimpin upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil secara “berkelanjutan”. Apa arti sebenarnya dari hal ini masih belum dapat didefinisikan.

Negara-negara produsen minyak telah menghalangi upaya untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil.

Pada COP sebelumnya, bahasa dalam perjanjian akhir telah dipermudah dalam hal konsesi kepada negara-negara produsen minyak. Dan persaingan serta penolakan yang sama diperkirakan akan terjadi kali ini.

Terlepas dari itu, sistem energi dunia sedang berubah, meskipun terjadi krisis energi global yang dipicu oleh perang Ukraina.

International Energy Agency (IEA) melaporkan pada Oktober bahwa bahan bakar fosil masih menyumbang sekitar 80 persen dari seluruh konsumsi energi.

Namun investasi pada energi ramah lingkungan telah meningkat sebesar 40 persen sejak 2020. Momentum ini dapat menyebabkan penggunaan bahan bakar fosil mencapai puncaknya sebelum 2030, menurut temuan IEA.

Pelemahan perekonomian China juga dapat mengakibatkan penurunan permintaan bahan bakar fosil global dan penurunan emisi yang cukup signifikan untuk mengubah arah perubahan iklim.

Baca juga: Brasil Akan Minta Dana Konservasi Hutan Jumbo dalam COP28

4. Pendanaan iklim

Negara-negara maju telah berulang kali gagal memobilisasi dana sebesar 100 miliar dollar AS per tahun yang dijanjikan untuk negara-negara berkembang antara 2020 hingga 2025.

Dana tersebut dimaksudkan untuk membantu negara-negara miskin melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, namun dana tersebut tidak pernah terpenuhi.

Tahun ini mungkin menjadi yang pertama kalinya terjadi.

Jenis tujuan pendanaan iklim yang baru akan dibahas lebih lanjut pada COP28, mengingat bahwa tujuan sebesar 100 miliar dollar AS tersebut hanyalah sebagian kecil dari apa yang perlu dicapai untuk membantu negara-negara berkembang mencapai tujuan mereka berdasarkan Perjanjian Paris.

Negara-negara berkembang masih menginginkan negara-negara kaya untuk menutupi kekurangan yang mereka alami pada tahun-tahun sebelumnya.

Sementara itu, ketegangan diperkirakan akan tetap tinggi seputar dana kerugian dan kerusakan.

Kerugian dan kerusakan adalah gagasan bahwa negara-negara maju yang bertanggung jawab atas perubahan iklim harus memberikan bantuan keuangan kepada negara-negara yang terkena dampak terburuk.

Sebuah kelompok transisi yang dibentuk di Mesir tahun lalu gagal menghasilkan serangkaian rekomendasi mengenai bagaimana dana tersebut akan bekerja atau siapa yang akan mengelolanya.

Hal ini bisa menjadi masalah besar di Dubai, dan membuat banyak negara rentan terkena dampak besar dari bencana yang menimpa mereka.

Baca juga: Sejumlah Pihak Peringatkan Taktik “Greenwashing” Terselubung Energi Fosil dalam COP28

5. Deforestasi

Setelah mengalami kemajuan pada 2021, di mana tingkat deforestasi global turun sebesar 6,3 persen, laju penggundulan hutan kembali meningkat sebesar 4 persen pada 2022.

Sekitar 6,6 juta hektare hutan hilang pada tahun lalu, setara dengan luas Sri Lanka.

Pada COP26 di Glasgow, 145 negara menandatangani janji untuk menghentikan dan mengembalikan hilangnya hutan serta degradasi lahan pada 2030 sebagai alat untuk memerangi perubahan iklim.

Meskipun terdapat janji tersebut, tren deforestasi mengarah ke arah yang salah, sehingga meningkatkan tekanan terhadap perlunya perundingan konstruktif pada COP28.

Baca juga: Puluhan Perusahaan Migas Komitmen Pangkas Emisi dalam COP28, Ekspansi Penangkap Karbon?

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com