Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 10/01/2024, 07:06 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Kehadiran industri nikel dengan produk hilirnya diyakini mampu menciptakan multiplier effect, seperti munculnya lapangan kerja baru hingga dampak ekonomi.

Namun, dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM juga menjadi aspek penting yang patut dipertimbangkan.

“Aktivitas smelter nikel terbukti menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan,” ujar Peneliti The Prakarsa Ricko Nurmansyah, dalam diskusi "Menakar Masa Depan Transisi Energi yang Berkeadilan di Kawasan Industri Berbasis Nikel" di Jakarta, Selasa (9/1/2024).

Warga lokal, termasuk masyarakat adat, kata dia, menanggung beban kerusakan lingkungan.

Baca juga: Kecelakaan Kerja Berulang di Smelter Nikel, Walhi: Pemerintah Abai

Beberapa di antaranya kehilangan ruang hidup karena kawasan hutan yang mereka diami berubah menjadi konsesi pertambangan, tanpa menghiraukan aspirasi dan dampak terhadap masyarakat.

Bukti kurangnya aspek lingkungan

Dari hasil analisis konten media yang dilakukan Prakarsa (2023), dimensi pelanggaran HAM yang muncul didominasi olen sengketa lahan, pelanggaran hak buruh, ketiadaan persetujuan atas dasar informasi sejak awal tanpa paksaan (Padiatapa)), hingga kekerasan terhadap masyarakat sipil.

Sebagai informasi, Padiatapa adalah sebuah mekanisme untuk melindungi hak masyarakat adat/masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam, berupa hak individual atau komunal.

“Insiden tragis kematian buruh di tambang dan smelter nikel menunjukkan lemahnya komitmen kepatuhan entitas usaha terhadap standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3),” ujarnya.

Prevalensi kecelakaan kerja yang cukup tinggi di sektor hulu nikel, menjadi penanda bahwa perusahaan-perusahaan tambang dan smelter nikel belum memprioritaskan kesejahteraan buruh.

Baca juga: Hilirisasi Nikel Jadi Harta Karun Baru, Telapak Kaji 5 Perusahaan Besar

Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Tuk Indonesia Abdul Haris memberi contoh, di salah satu pusat kawasan nikel yaitu Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, hanya terdapat satu rumah sakit.

“Bagaimana kemudian dengan aktivitas yang punya high risk seperti pertambangan di Morowali, telah terjadi ledakan di smelter Morowali, yang menyebabkan ada 18 orang, ada yang bilang lebih dari 21 meninggal. Mereka itu yang meninggal kan sebelumnya 9 orang. Sisanya meninggal di rumah sakit,” kata dia.

Hal tersebut menandakan kurangnya fasilitas rumah sakit, yang seharusnya layak di sana. Bahkan, rumah sakit yang layak di Kota Palu, berjarak 600 kilometer dari Morowali.

“Jadi dengan jarak sejauh itu sudah pasti banyak yang tidak terselamatkan kalau dengan tingkat kecelakaan kerja seperti yang terjadi di Morowali,” imbuhnya.

Sayangnya, kata Ricko, berdasarkan hasil analisis konten media yang dilakukan, pemberitaan media massa terkait industri nikel masih banyak mengacu pada aspek ekonomi, seperti baterai kendaraan listrik (35 berita) dan hilirisasi industri nikel (31 berita) dari total 223 berita yang dianalisis.

“Sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan dan persoalan HAM belum banyak diberitakan oleh media massa nasional,” ujar Ricko.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau