KOMPAS.com - Kehadiran industri nikel dengan produk hilirnya diyakini mampu menciptakan multiplier effect, seperti munculnya lapangan kerja baru hingga dampak ekonomi.
Namun, dampak negatif seperti kerusakan lingkungan dan pelanggaran HAM juga menjadi aspek penting yang patut dipertimbangkan.
“Aktivitas smelter nikel terbukti menyebabkan pencemaran terhadap lingkungan,” ujar Peneliti The Prakarsa Ricko Nurmansyah, dalam diskusi "Menakar Masa Depan Transisi Energi yang Berkeadilan di Kawasan Industri Berbasis Nikel" di Jakarta, Selasa (9/1/2024).
Warga lokal, termasuk masyarakat adat, kata dia, menanggung beban kerusakan lingkungan.
Baca juga: Kecelakaan Kerja Berulang di Smelter Nikel, Walhi: Pemerintah Abai
Beberapa di antaranya kehilangan ruang hidup karena kawasan hutan yang mereka diami berubah menjadi konsesi pertambangan, tanpa menghiraukan aspirasi dan dampak terhadap masyarakat.
Dari hasil analisis konten media yang dilakukan Prakarsa (2023), dimensi pelanggaran HAM yang muncul didominasi olen sengketa lahan, pelanggaran hak buruh, ketiadaan persetujuan atas dasar informasi sejak awal tanpa paksaan (Padiatapa)), hingga kekerasan terhadap masyarakat sipil.
Sebagai informasi, Padiatapa adalah sebuah mekanisme untuk melindungi hak masyarakat adat/masyarakat lokal terhadap sumberdaya alam, berupa hak individual atau komunal.
“Insiden tragis kematian buruh di tambang dan smelter nikel menunjukkan lemahnya komitmen kepatuhan entitas usaha terhadap standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3),” ujarnya.
Prevalensi kecelakaan kerja yang cukup tinggi di sektor hulu nikel, menjadi penanda bahwa perusahaan-perusahaan tambang dan smelter nikel belum memprioritaskan kesejahteraan buruh.
Baca juga: Hilirisasi Nikel Jadi Harta Karun Baru, Telapak Kaji 5 Perusahaan Besar
Kepala Departemen Kampanye dan Pendidikan Publik Tuk Indonesia Abdul Haris memberi contoh, di salah satu pusat kawasan nikel yaitu Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah, hanya terdapat satu rumah sakit.
“Bagaimana kemudian dengan aktivitas yang punya high risk seperti pertambangan di Morowali, telah terjadi ledakan di smelter Morowali, yang menyebabkan ada 18 orang, ada yang bilang lebih dari 21 meninggal. Mereka itu yang meninggal kan sebelumnya 9 orang. Sisanya meninggal di rumah sakit,” kata dia.
Hal tersebut menandakan kurangnya fasilitas rumah sakit, yang seharusnya layak di sana. Bahkan, rumah sakit yang layak di Kota Palu, berjarak 600 kilometer dari Morowali.
“Jadi dengan jarak sejauh itu sudah pasti banyak yang tidak terselamatkan kalau dengan tingkat kecelakaan kerja seperti yang terjadi di Morowali,” imbuhnya.
Sayangnya, kata Ricko, berdasarkan hasil analisis konten media yang dilakukan, pemberitaan media massa terkait industri nikel masih banyak mengacu pada aspek ekonomi, seperti baterai kendaraan listrik (35 berita) dan hilirisasi industri nikel (31 berita) dari total 223 berita yang dianalisis.
“Sedangkan dampak negatif terhadap lingkungan dan persoalan HAM belum banyak diberitakan oleh media massa nasional,” ujar Ricko.
Dampak industrialisasi dan hilirisasi nikel terhadap lingkungan dilihat dalam penelitian TuK Indonesia pada tahun 2023, ditinjau dari Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH) dengan mengambil lokus di Kecamatan Bahodopi, Kabupaten Morowali, Provinsi Sulawesi Tengah sebagai konteks studi kasus.
“Indeks kualitas lingkungan hidup diukur berdasarkan hasil pengukuran pada indeks kualitas air, indeks kualitas udara, dan indeks kualitas tutupan lahan,” kata Peneliti Tuk Indonesia Novi Onora.
Pengukuran pada kualitas air menunjukkan bahwa air di sungai dan di laut sekitar PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP) mengalami kondisi cemar.
Baca juga: Pidato Jokowi tentang Hilirisasi Nikel, Walhi: Tak Peduli Krisis Iklim
“Hasil perhitungan indeks kualitas laut dan sungai, cukup banyak parameter yang melebihi standar baku mutu,” terangnya.
Kondisi cemar yang terjadi berdampak terhadap penurunan nilai oksigen terlarut, selain itu kondisi cemar pada laut sangat berpotensi pada kehilangan mata pencaharian bagi nelayan dan petani rumput laut serta kerusakan terumbu karang.
Lebih jauh, dalam konteks kesehatan, teridentifikasi bahwa ke depan, konsentrasi logam berat Timbal (Pb) akan mencemari perairan pesisir laut dan memberikan efek racun bagi tubuh, termasuk menjadi sebab keracunan pada ikan tertentu.
“Kondisi laut sudah sangat tercemar, terindikasi nelayan sulit sekali mendapat tangkapan ikan di laut. Kalaupun ada tangkapan, fisiologis ikannya juga sudah berubah tidak besar tapi kecil-kecil. Petani rumput laut enggak bisa juga bertani di kawasan tersebut,” ujar Novi.
Aktivitas ekstraksi pun teridentifikasi berdampak negatif terhadap kesehatan manusia.
“Hal ini berdasarkan hasil pengukuran kualitas udara di mana kualitas sulfur dioksida di udara teridentifikasi melebihi baku mutu. Masyarakat harus ganti seng, karena selalu bolong, kena hujan asam sebagai proses percampuran tadi,” tambah Novi.
Selain itu, ia menjelaskan, konsentrasi sulfur dioksida yang melebihi baku mutu memberikan efek negatif pada sistem pernapasan dan fungsi paru-paru yang secara jangka pendek akan mengakibatkan batuk, sekresi lendir yang berlebihan, peningkatan gejala asma dan bronkitis kronis, serta membuat manusia lebih mudah mendapatkan infeksi pada saluran pernapasan.
Menariknya, dalam pengukuran pada aspek tutupan lahan, diperoleh hasil indikator sangat baik.
Hal tersebut secara matematis setidaknya disebabkan oleh besarnya proporsi nilai luas tutupan lahan yang menjadi variabel dalam perhitungan.
Baca juga: Walhi: PLTU Captive di Smelter Nikel Jadi Ironi Transisi Energi
“Nilai indeks kualitas air dan indeks kualitas udara memiliki proporsi sebesar 30 persen, sedangkan indeks kualitas tutupan lahan memiliki proporsi 40 persen,” kata Novi.
Berdasarkan hal tersebut, indeks kualitas lingkungan hidup di Kecamatan Bahodopi masuk dalam kategori sangat baik, sebab tutupan lahan hutan masih mendominasi wilayah kecamatan Bahodopi dibandingkan tutupan atau penggunaan lahan lainnya.
Padahal, dalam konteks ekstraksi pertambangan, luas tutupan lahan yang dibuka pasti cenderung tidak seluas ekstraksi pada sektor perkebunan monokultur.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya