Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Denon Prawiraatmadja
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perhubungan

"Sustainable Aviation Fuel", antara Ambisi dan Tanggung Jawab

Kompas.com - 09/03/2024, 10:33 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Misalnya, proyek percobaan yang dilakukan maskapai Garuda Indonesia, dengan menggunakan SAF dari minyak kelapa sawit yang dikembangkan oleh Pertamina.

Indonesia merupakan penghasil minyak kelapa sawit sebesar 57 persen di dunia sehingga sangat memungkinkan menggunakan minyak kelapa sawit untuk penggunaan non-pangan seperti untuk bahan bakar pesawat.

Selain Sawit, saat ini juga tengah dilakukan riset terhadap tebu sebagai alternatif yang layak untuk SAF. Indonesia juga salah satu penghasil tebu terbanyak, yaitu mencapai 28,9 juta ton pada 2021.

Sementara itu, tengah dikembangkan pengolahan minyak masak bekas atau used cooking oil (UCO) sebagai alternatif yang layak untuk SAF.

Proses produksinya sejauh ini sejalan dengan tujuan keberlanjutan lingkungan. Menggunakan UCO berarti mengolah limbah agar lebih bermanfaat sekaligus mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.

Untuk menghadirkan sustainbale aviation fuel memang tidak mudah, banyak tantangan dan tahapan yang harus dilalui.

Tantangan tersebut, misalnya, terkait dengan aturan dan sertifikasi, skala produksinya, biaya produksi SAF versus minyak konvensional, ketersediaan bahan baku, infrastruktur, hingga persepsi publik terhadap SAF.

Saat ini masih belum ada aturan baku terkait dari Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) terkait penggunaan SAF. ICAO baru mengeluarkan panduan dan rekomendasi. Sehingga belum ada keharusan bagi maskapai penerbangan menggunakan SAF.

Namun jika akan menggunakan SAF, maka harus mendapatkan sertifikasi keselamatan penerbangan terlebih dahulu.

Sedangkan terkait proses produksi SAF juga harus mendapat sertifikasi sehingga proses produksinya tidak justru menambah jejak karbon di udara, namun tetap dalam koridor dekarbonisasi.

Tantangan kedua terkait skala produksi di mana tantangannya adalah memproduksi SAF dalam skala besar sehingga bisa menyaingi jumlah produksi bahan bakar fosil konvensional.

Ketiga, terkait pasokan bahan baku untuk memproduksi SAF secara berkelanjutan juga menjadi tantangan karena selain used cooking oil, kebanyakan bahan bakunya berasal dari bahan-bahan yang dibutuhkan untuk keperluan lain.

Biaya produksi yang masih sangat besar juga menjadi kendala, mengingat saat ini SAF belum bisa diproduksi secara massal dan berkelanjutan.

Selanjutnya, ada juga tantangan di infrastruktur jaringan distribusi seperti depot pengisian bahan bakar pesawat udara (DPPU) di tiap bandara yang kemungkinan juga harus dimodifikasi.

Tantangan terakhir adalah persepsi publik terhadap keselamatan operasional pesawat yang menggunakan SAF dibanding dengan menggunakan avtur konvensional.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com