Di negara lain, kebijakan tentang memperkuat kiprah desa melalui ranah digital sudah dilakukan. Ini sebagai antisipasi terhadap perkembangan teknologi yang tidak bisa dihindari.
Desa Ponta do Sol di Portugal adalah desa pertama di Eropa yang dicanangkan sebagai desa digital.
Eropa juga kemudian mengembangkan European Start Up Vilage Forum, forum yang menginiasi berbagai desa untuk melakukan pertukaran informasi dan pengetahuan berbasis start up. Hal ini tidak lepas dari adanya visi jangka panjang dari Komisi Eropa untuk memperkuat wilayah pedesaan.
Hal di atas menunjukkan adanya kesadaran dan pengakuan bahwa desa adalah wilayah yang sangat penting, bahkan bisa dikatakan jantungnya negara.
Mendorong agar desa menjadi melek teknologi, memiliki daya saing kuat, mampu mengembangkan potensi baik secara mandiri maupun dengan fasilitasi adalah keharusan. Konteks inilah yang kemudian menjadi perhatian serius di Indonesia.
Selama ini, posisi desa kerap diasumsikan berada di bawah pamor masyarakat perkotaan. Sering diidentikkan bahwa kemajuan, kemodernan, bahkan kepintaran adanya di kota.
Desa justru dianggap udik, terbelakang dan tentu saja dinyatakan tertinggal. Paradigma seperti ini sangat melekat, tidak hanya bagi orang luar, bahkan juga oleh orang desa sendiri.
Konstruksi makna tentang ini sangat kuat di mana sering muncul selorohan dari seseorang yang sudah sukses dengan berkata, “saya ini sebetulnya dulu dari desa”, untuk mengatakan bahwa dulu ia udik dan kolot, tapi sekarang sudah berhasil.
Gagasan tentang desa digital bukan barang baru di Indonesia. Beberapa pihak sudah pernah melakukan itu dengan berbagai inovasinya, semua bisa dilacak melalui jejak digital di internet.
Tentu saja ini kita apresiasi karena upaya terhadap itu sudah pernah dimulai dan terus dilakukan. Mulai dari kiprah pemerintah melalui program digitalisasi pedesaan sampai dengan peran swasta yang merancang metodenya sendiri.
Hemat saya, ada beberapa titik penting yang perlu dipertimbangkan saat merancang atau menggagas desa yang melek digital ini.
Pertama, transparansi. Kebijakan-kebijakan yang ditujukan ke desa, ataupun kebijakan yang dirancang dari desa harus memiliki nilai transparansi yang kuat.
Transparansi ini mencakup semua sektor yang berhubungan dengan masyarakat pedesaan, entah itu soal produk pertanian, pupuk, benih, sarana prasarana, anggaran, dan sebagainya.
Semua informasi mengenai ini harus bisa diakses oleh desa dan tersaji secara berkualitas, terjamin kesahihannya. Desa juga berkomitmen untuk menyampaikan ragam informasi dan kegiatan yang dilakukan ke publik secara terbuka.
Kedua, partisipasi. Apapun yang dilakukan harus berangkat dari kebutuhan dan potensi yang dimiliki desa. Kebijakan awal mungkin bersifat top down, tetapi di tataran praktis, harus berawal dari kondisi desa sendiri.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya