KOMPAS.com - Lautan di dunia sedang menghadapi tiga ancaman besar berupa pemanasan ekstrem, hilangnya oksigen, dan pengasaman.
Hal tersebut mengemuka dalam studi terbaru yang dirilis jurnal AGU Advances pada 23 Mei 2024. Menurut penelitian tersebut, sekitar seperlima permukaan laut dunia sangat rentan terhadap ketiga ancaman tersebut.
Menurut temuan studi tersebut, ancaman yang dihadapi lautan tak lepas dari krisis iklim yang dipicu oleh aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan.
Baca juga: Berkat Laut dan Awan, Indonesia Masih Aman dari Gelombang Panas
Di kedalaman 300 meter lautan yang terkena dampak, peristiwa gabungan ini sekarang berlangsung tiga kali lebih lama dan enam kali lebih intens dibandingkan pada awal tahun 1960-an.
Penulis utama studi ini memperingatkan bahwa lautan di dunia sudah berada dalam kondisi ekstrem baru karena krisis iklim.
"Dampaknya sudah terlihat dan dirasakan," kata Joel Wong, peneliti dari ETH Zurich sebagai penulis utama studi tersebut.
"Kejadian ekstrem seperti ini kemungkinan besar akan terjadi lagi di masa depan dan akan mengganggu ekosistem laut dan perikanan di seluruh dunia," tambahnya, sebagaimana dilansir The Guardian.
Studi tersebut menganalisis kejadian panas ekstrem, deoksigenasi, dan pengasaman. Peneliti menemukan, kejadian ekstrem tersebut bisa berlangsung hingga 30 hari, terutama di wilayah tropis dan Pasifik utara yang terkena dampak ancaman yang semakin besar.
Baca juga: Luhut Ungkap Proyek Hilirisasi Rumput Laut, Klaim Nilai Impor Rp 303,8 Triliun pada 2030
Selama ini, para ilmuwan iklim khawatir dengan kenaikan suhu panas di lautan yang terus menerus dan mencapai tingkat yang luar biasa dalam beberapa bulan terakhir.
"Panas benar-benar tidak masuk akal," kata Andrea Dutton, ahli geologi dan ilmuwan iklim di Universitas Wisconsin–Madison, yang tidak terlibat dalam penelitian baru ini.
Panas ekstrem di lautan juga memaksa ikan dan spesies lain untuk berpindah ke iklim yang lebih sesuai.
Di sisi lain, lautan juga harus membayar mahal karena menyerap sejumlah besar panas dan karbon dioksida dari emisi bahan bakar fosil.
Tambahan karbon dioksida tersebut membuat air laut menjadi lebih asam, membuat cangkang makhluk laut terdampak, serta membuat lautan kekurangan oksigen.
Baca juga: BRIN dan OceanX Gali Keanekaragaman Hayati Laut Dalam Indonesia
"Ini berarti kehidupan laut semakin tersingkir dari tempat di mana mereka dapat bertahan hidup," kata Dutton.
Dutton menuturkan, penelitian tersebut memperjelas bahwa ancaman gabungan ini akan mendorong organisme melewati titik kritisnya.
"Masyarakat harus menyadari bahwa lautan telah melindungi kita dari panas yang kita rasakan di darat sebagai manusia, namun hal ini bukannya tanpa konsekuensi," tuturnya.
Dutton mengatakan, kombinasi penurunan kadar oksigen, peningkatan pengasaman, dan melonjaknya panas laut juga terlihat pada akhir periode Permian sekitar 252 juta tahun yang lalu.
Kala itu, Bumi mengalami peristiwa kepunahan terbesar dalam sejarahnya, yang dikenal sebagai Great Dying.
"Jika melihat catatan fosil, Anda dapat melihat pola yang sama terjadi pada akhir zaman Permian, ketika dua pertiga genera laut punah," ucapnya.
"Lautan bukan hanya latar belakang yang bagus untuk selfie Anda di musim panas, kita juga mengandalkannya dalam kehidupan kita, sangat penting untuk menyadari hal ini," tambah Dutton.
Baca juga: Konservasi Laut, Pupuk Kaltim Turunkan 6.882 Terumbu Karang Sejak 2011
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya