Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Septian Pribadi
Peneliti

Peneliti di Badan Litbang dan Inovasi di Tebuireng Media Group

Denmark, Integrasi, dan Pendidikan Lingkungan di Indonesia

Kompas.com - 01/08/2024, 16:28 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Pendidikan lingkungan di Indonesia

Sebetulnya Indonesia sudah menerapkan banyak upaya untuk mendukung pendidikan lingkungan.

Pada 1975, IKIP Jakarta (sekarang Universitas Negeri Jakarta) pernah membuat program pendidikan lingkungan yang diujicobakan di 15 sekolah dasar di Jakarta pada 1977/1978.

Lanjut pada 1986, Pendidikan Lingkungan Hidup dan Kependudukan dimasukkan ke dalam pendidikan formal di sekolah dengan membentuk mata pelajaran Pendidikan Kependudukan dan Lingkungan Hidup (PKLH) yang diintegrasikan ke semua mata pelajaran dari jenjang SD hingga SLTA.

Kemudian pada 2006, Kementerian Lingkungan Hidup kembali memasukkan program pendidikan lingkungan melalui program Adiwiyata. Data terbaru pada 2022 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sudah ada 27.169 sekolah di seluruh Indonesia yang mengikuti Adiwiyata.

Kolaborasi juga sudah diupayakan untuk menciptakan gerakan serentak dalam pendidikan lingkungan.

Hingga 2010, tercatat ada 192 anggota jaringan pendidikan lingkungan hidup, baik dari jaringan itu sendiri, perorangan, dan lembaga. Namun sayang, tak ada data terbaru jumlah mereka dan kontribusinya saat ini.

Lalu, apa masalah terbesar Indonesia tidak bisa menjadi seperti Denmark dalam pendidikan lingkungan?

Rumitnya Indonesia

Jika melihat sejarah, Indonesia dan Denmark memiliki sejarah terkait kepedulian lingkungan yang tak jauh berbeda.

Pada mulanya, Denmark adalah negara yang berbasis pada pertanian dan perikanan. Hingga pada 1973 terjadi krisis minyak di Denmark. Maklum saja, 90 persen pasokan energi nasional Denmark bergantung pada impor minyak.

Krisis itu kemudian mengetuk Denmark untuk melakukan reorientasi sektor energi. Dan selama 5 dekade, upaya Denmark untuk melakukan Transisi Hijau berhasil.

Jika melihat tahun krisis minyak Denmark (1973), sebetulnya tak jauh beda dengan upaya Indonesia untuk mengupayakan pendidikan lingkungan (1975). Hanya selisih dua tahun saja.

Bahkan kalau mau lebih fair, sejak zaman penjajahan Belanda, sudah banyak kebijakan untuk ramah lingkungan. Sebut saja pada 1922, pemerintah Belanda pernah membuat Colonal Governance untuk menanggulangi sampah dan tinja di Surabaya.

Lalu pada dekade 1960-an, Sukarno pernah menjadikan isu nasional berupa anjuran hidup bersih dan sehat. Gaung kebersihan Sukarno ini meluas di seluruh Indonesia khususnya sebelum pagelaran Konferensi Asia-Afrika (KAA) hingga memunculkan program Operasi Bersih.

Gubernur Jakarta dua periode (1960-1964 dan 1965-1966), Soemarno, yang terkenal dengan julukan Gubernur Sampah, sampai merasa frustasi karena upayanya untuk membuat Jakarta bersih dari sampah tak kunjung terwujud.

Jika Denmark menyebut diri mereka sebagai negara yang amat dekat dan terikat pada tanah dan laut dengan pertanian dan perikanan sebagai basis mereka, lalu bagaimana dengan Indonesia, negara yang terkenal dengan negara agraris dan maritim?

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau