Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/08/2024, 13:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Relaksasi aturan tingkat kandungan komponen dalam negeri (TKDN) untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dapat mendorong permintaan modul surya untuk proyek-proyek ketenagalistrikan.

Akan tetapi, aturan tersebut perlu dikelola dengan baik agar tidak sampah menggerus daya saing modul surya lokal yang harus berkompetisi dengan produk impor.

Hal tersebut disampaikan Direktur Eksekutif Institute Essential for Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam Indonesia Solar Summit (ISS) 2024 pada Rabu (21/8/2024).

Baca juga: PLTS Terapung Bakal Dikembangkan di Waduk Karangkates Malang

Fabby menuturkan, pemerintah perlu membantu produsen modul surya lokal dengan bebagai cara agar bisa bersaing dengan produk impor.

Contohnya pemberian bantuan modal atau pemberian insentif fiskal dan non-fiskal guna mengurangi biaya produksi modul surya.

"Selain itu perlu regulasi untuk menciptakan pasar domestik yang khusus untuk menyerap produksi mereka, sembari bekerja sama dengan produsen global untuk transfer teknologi,” ujar Fabby dalam siaran pers yang diterima Kompas.com.

Dia menambahkan, untuk mengatasi tantangan pembangunan rantai pasok industri PLTS, pemerintah juga perlu campur tangan.

Baca juga: PLN Gandeng Perusahaan Arab Saudi Kembangkan PLTS Terapung Saguling

Pengeluaran modal untuk membangun rantai pasok polysilicon, wafer, sel, dan modul surya mencapai 170 hingga 190 juta dollar AS per gigawatt (GW) kapasitas.

Fabby menilai, untuk menarik investor dengan nilai yang terbilang besar dan risikonya, pemerintah harus dapat merumuskan paket kebijakan dan insentif, baik pada di sisi industri dan penciptaan permintaan domestik.

IESR juga mendorong agar Indonesia setidaknya mencapai lima target dalam periode tahun 2024 sampai 2029.

Pertama, pabrikan modul surya domestik menggunakan sel surya produksi dalam negeri. Kedua, komponen pendukung untuk sistem PLTS dapat diperoleh dari industri domestik.

Ketiga, produk modul surya domestik yang memiliki daya saing dari segi harga, kualitas, dan bankability untuk pendanaan proyek internasional. Keempat, kemandirian rantai pasok komponen PLTS. Kelima, menjadi produsen komponen pendukung yang memiliki pangsa pasar global.

Baca juga: Kapasitas Listrik EBT Naik 500 GW Pada 2023, Didominasi PLTS

Sementara itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Marves) Luhut Binsar Pandjaitan mengakui Indonesia Indonesia perlu membangun dan memperluas industri solar domestik.

Upaya tersebut juga perlu dibaering pengembangan sumber daya manusia (SDM) sebagai langkah transisi energi demi mengatasi krisis iklim.

Luhut menuturkan, pemerintah melalui PLN akan segera meluncurkan program pembangunan 60 GW energi terbarukan.

"Indonesia juga telah menandatangani kerja sama pengembangan energi terbarukan dengan Singapura dan telah menarik investasi di ekspor energi hijau, ladang PLTS, dan penyimpan energi baterai," ujar Luhut.

Hasil kerja sama dengan Singapura masing-masing menghasilkan investasi dari pengembang energi sebesar 30-50 miliar dollar AS, manufaktur PLTS sebesar 1,7 miliar dollar AS, dan dari produsen baterai dan inverter sebesar 1 miliar dollar AS.

Baca juga: China Jawara Pengembangan Energi Terbarukan Global, Getol Bangun PLTS dan PLTB

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Selamat, Kamu Pembaca Terpilih!
Nikmati gratis akses Kompas.com+ selama 3 hari.

Mengapa bergabung dengan membership Kompas.com+?

  • Baca semua berita tanpa iklan
  • Baca artikel tanpa pindah halaman
  • Akses lebih cepat
  • Akses membership dari berbagai platform
Pilihan Tepat!
Kami siap antarkan berita premium, teraktual tanpa iklan.
Masuk untuk aktivasi
atau
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau