Terry Repi dari Institute for Human and Ecological Studies (Inhides) yang juga Akademisi Universitas Muhammadiyah Gorontalo menyoroti, bioenergi menjadi ancaman serius bagi keanekaragaman hayati.
Dia mengatakan, aktivitas bioenergi dapat mengakselerasi hilangnya habitat, terutama bagi spesies spesialis dan spesies dengan jelajah yang luas, yang berisiko menyebabkan kepunahan.
"Konversi hutan dapat mengubah struktur dan komposisi ekosistem hutan serta mendorong munculnya spesies invasif yang mengganggu keseimbangan ekosistem," tuturnya.
Baca juga: Kabar Baik, Deforestasi di Amazon Kolombia Turun 36 Persen
Selain itu, dibutuhkan waktu yang sangat lama, antara 44 hingga 104 tahun, bagi hutan untuk menyerap kembali kelebihan karbon dioksida setelah penebangan.
Artinya, asumsi bahwa bioenergi kayu bersifat netral karbon adalah terlalu optimistis dan dapat menunda upaya mitigasi perubahan iklim yang lebih efektif.
Sementara itu, anggota Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda) Abubakar Siddik Katili yang juga mengatakan, kerusakan ekosistem akibat proyek bioenergi dapat menyebabkan hilangnya fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan.
Akademisi Pusat Kajian Ekologi Pesisir berbasis Kearifan Lokal (PKEPKL) Universitas Negeri Gorontalo itu juga menambahkan, hilangnya fungsi hutan bakal memperparah perubahan iklim global.
"Kerusakan ekosistem dan lingkungan adalah cerminan dari karakter serta perilaku yang abai terhadap keseimbangan sistem ekologis. Setiap tindakan memiliki dampak besar pada lingkungan dan makhluk hidup lainnya," tutur Abubakar.
Baca juga: Petani Kecil Bisa Bebas Deforestasi, Organisasi Masyarakat Sipil Luncurkan Panduan
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya