PALEMBANG, KOMPAS.com - Upaya restorasi mangrove bukan sekadar menanam saja, melainkan perlu melibatkan dan memberdayakan masyarakat.
Director Center for International Forestry Research (CIFOR) Indonesia Herry Purnomo mengatakan, pelibatan masyarakat penting untuk upaya restorasi mangrove.
Selain melibatkan masyarakat, upaya pemberdayaan juga perlu dilakukan agar mereka mendapat manfaat dari mangrove sehingga semakin sadar untuk melestarikannya.
Baca juga: Urgensi Perubahan Kebijakan Demi Tekan Angka Stunting di Indonesia
Berkaca pada hal tersebut, CIFOR-ICRA menginisiasi restorasi mangrove melalui program Sungsang Mangrove Restoration and Ecotourism (SMART).
Program yang dimulai sejak 2021 tersebut berlokasi di kawasan Sungsang, Kabupaten Banyuasin, Provinsi Sumatera Selatan.
Kawasan tersebut dipilih karena separuh dari dari mangrove yang tersisa di Sumatera Selatan terletak di Banyuasin dengan luas 134.024 hektare, yang sebagian besar terletak di Taman Nasional Sembilang.
Di sisi lain, Kabupaten Banyuasin kehilangan sekitar 34.000 lahan mangrove selama periode 1990 sampai 2019.
Baca juga: Mangrove dan Padang Lamun Berpotensi Jadi Gudang Karbon Biru RI
Selain upaya restorasi, upaya merawat ekosistem mangrove yang tersisa di sana secara berkelanjutan juga tak kalah penting.
Program SMART berkolaborasi dengan Universitas Sriwijaya dan Forum Daerah Aliran Sungai Sumatra Selatan (Forum DAS Sumsel) serta didukung Temasek Foundation, ogranisasi filantropi asal Singapura.
"Dalam proyek ini kami memiliki empat paket untuk merestorasi mangrove sekaligus memberdayakan masyarakat," kata Herry di Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (28/8/2024).
Keempat paket tersebut adalah restorasi mangrove berbasis komunitas masyarakat dan pengembangan bisnis, kebijakan lokal, platform nasional dan internasional, seta manajemen proyek.
Baca juga: Garuda Indonesia Restorasi Lingkungan Lewat Penanaman Bibit Mangrove
Herry menyampaikan, program SMART memberikan manfaat bagi masyarakat melalui model bisnis yang sudah ada seperti ekoturisme, silvoshery atau budidaya kepiting di mangrove, hingga pemasaran bibit mangrove.
"Kami senang bisa melakukan aksi di lapangan bersama masyarakat dalam merestorasi mangrove," papar Herry.
Kepala Bappeda Litbang Kabupaten Banyuasin Kosarodin menyampaikan, melalui program SMART, semakin banyak masyarakat yang tahu manfaat dari mangrove.
"Kami berharap program ini terus berhasil di Banyuasin. Karena habitat mangrove (yang pulih) bisa menjadikan flora dan fauna berkembang kembali," tutur Kosarodin.
Baca juga: Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global
Selain itu, ada tiga kunci intervensi yang menjadi fokus program SMART di Sungsang.
Pertama, restorasi berbasis masyarakat. Selama tiga tahun hampir 40.000 bibit telah ditanam di lahan seluas 15 hektare lahan mangrove yang rusak.
Program ini juga membentuk pembibitan mangrove berbasis masyarakat dengan apasitas 15.000 bibit per tahun.
Kedua, bisnis model yang berkelanjutan. Program SMART menginisiasi berbagai bisnis seperti adopsi pohon, produksi bibit mangove, silvofishery, ekoturisme, hingga kewirausahaan.
Berbagai aktivitas tersebut telah dirasakan oleh lebih dari 300 masyarakat di sekitar.
Ketiga, kebijakan lokal. Proyek tersebut juga melibatkan otoritas lokal untuk mendukung kebijakan yang berbasis bukti.
Baca juga: Ekosistem Gambut dan Mangrove Indonesia dalam Konstelasi Pemanasan Global
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya