KOMPAS.com - Pengesahan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) tinggal selangkah lagi.
Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Eniya Listiani Dewi menyampaikan, dari 63 pasal yang dibahas, 61 di antaranya telah disepakati.
Eniya menuturkan, praktis proses pembahasan RUU EBET menyisakan dua pasal yang belum mencapai kesepakatan.
Baca juga: RUU EBET Tinggal Satu Pasal, Target Diputuskan Tahun Ini
Dalam dua pasal terakhir itu, pemerintah mengusulkan terkait dengan pemanfaatan bersama jaringan transmisi (PBJT) atau power wheeling.
"Isi dua pasal yang terakhir ini terkait PBJT atau sewa jaringan," jelas Eniya di Jakarta, Senin (9/9/2024), dikutip dari siaran pers.
Pemerintah mengusulkan, pemenuhan kebutuhan listrik konsumen yang bersumber dari energi baru terbarukan (EBT) wajib dilaksanakan berdasar Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) dan dapat dilakukan dengan PBJT melalui mekanisme sewa jaringan.
Dalam mekanisme PBJT sewa jaringan, usaha jaringan transmisi tenaga listrik wajib membuka akses pemanfaatan bersama jaringan transmisinya untuk kepentingan umum.
Kemudian, sewa jaringan dalam mekanisme PBJT selanjutnya akan diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP).
Baca juga: Masukkan Bahan Bakar Fosil, RUU EBET Dinilai Sarat Kepentingan Energi Padat Karbon
Eniya menuturkan, pemerintah telah menyampaikan dan menjelaskan kedua pasal yang belum disepakati tersebut dalam Rapat Panitia Kerja RUU EBET bersama Komisi VII DPR RI, namun masih ditunda untuk pembahasan lanjutannya.
"Pemerintah sebagai tim perumus telah menyampaikan kepada Komisi VII DPR RI. Komisi VII juga sudah paham dengan pasal tersebut, rapatnya masih ditunda," ujarnya.
Eniya menambahkan, dengan adanya skema PBJT ini, swasta dapat menjadi penyedia listrik, sehingga harga listrik EBT menjadi lebih murah.
"Sehingga listrik yang sampai ke masyarakat adalah listrik murah, subsidi pemerintah turun, itu tujuan kami untuk memasukkan ke RUU EBET seperti ini. Kami memprioritaskan EBET yang murah ke depan," imbuh Eniya.
Eniya juga mengungkapkan, dalam RUU EBET, semua badan usaha yang mengusahakan kegiatan untuk menurunkan emisi mendapatkan insentif melalui nilai ekonomi karbon.
Baca juga: RUU EBET Terus Dibahas, Nuklir dan Amonia Masuk Energi Baru
Dia berujar, melalui RUU EBET, badan usaha yang saat ini sudah memasang energi terbarukan, berkontribusi dalam biomassa, dan mengusahakan penurunan emisi mendapatkan insentif dari nilai ekonomi karbon.
"Ini kalau disahkan, nilai ekonomi karbon berjalan. Kalau UU ini tidak disahkan, tidak ada insentif. Insentif inilah yang paling utama di RUU EBET ini," tandasnya.
Hal lain yang juga mendesak pengesahan RUU EBET adalah untuk memuluskan jalan dalam penyediaan listrik untuk daerah yang masih kekurangan akses listrik.
Terutama di daerah Indonesia Timur yang masih mengandalkan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) yang harga pembangkitannya jauh lebih tinggi dari kawasan Indonesia lainnya.
Baca juga: Pembahasan Power Wheeling Seperti Siluman, Pemerintah dan DPR Didesak Cermati RUU EBET
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya