KOMPAS.com - Koalisi Sulawesi Tanpa Polusi Sulawesi Selatan (Sulsel) meminta Presiden Prabowo Subianto merevisi Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik.
Pasalnya, perpres tersebut dinilai memberi izin pengembangan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) captive alias untuk kebutuhan industri.
Koalisi tersebut terdiri dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulsel, Greenpeace, Green Youth Movement, MPA TRISULA FIS-H UNM, HIMA PPKn FIS-H UNM, HMJ Manajemen UINAM, HIMATEP FIP UNM dan Balla Tani.
Baca juga: TBS Energi Utama Jual 2 PLTU Batu Bara, Turunkan Emisi 80 Persen
Tim Kampanye Walhi Sulsel Muhajirin mengatakan, ada banyak dampak buruk yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir karena PLTU captive.
Dalam laporan Walhi Sulawesi Tengah (Sulteng) pada 2023, disebutkan terdapat 1.750 orang terkena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Kecamatan Petasia, Morowali Utara.
Sedangkan di Sulawesi Tenggara (Sultra), disebutkan ikan petani tambak mati mendadak karena limbah cair panas.
"Masalah itulah yang kemudian membuat kami bergerak dan meminta agar PLTU industri harus segera dimatikan," kata Muhajirin saat melakukan aksi di Pantai Losari, Makassar, Minggu (20/10/2024).
Muhajirin menambahkan, bukannya menghentikan konsumsi batu bara, pemerintahan Presiden Joko Widodo memperpanjang usia energi fosil itu di sektor industri.
Baca juga: Daftar Negara di Dunia yang Tidak Mengoperasikan PLTU Batu Bara
Dia menuturkan, Pasal 3 Ayat 4 huruf (b) Perpres Nomor 112 Tahun 2022 memberikan celah operasional PLTU captive untuk industri.
"Padahal kebijakan ini bertentangan dengan target net zero emission 2060," kata Muhajirin, sebagaimana dilansir siaran pers.
Muhajir menuturkan, di empat provinsi yakni Sulteng, Sultra, Sulsel, dan Maluku Utara tercatat ada 11,8 gigawatt (GW) PLTU captive yang beroprasi.
Selain itu, ada konstruksi 18 unit PLTU captive dengan total kapasitas 5,4 GW dan praizin satu unit sebesar 0,4 GW.
Mayoritas dari pembangkit tersebut diperuntukkan untuk industri nikel.
Baca juga: Penutupan PLTU Terakhir Inggris Tonggak Penting Ambisi Iklim
Muhajir berujar, dari proyek-proyek ini saja diperkirakan menghasilkan emisi 80 megaton karbon dioksida per tahun dan akan terakumulasi sebesar 2 gigaton karbon dioksida hingga 2050.
Muhajir menyampaikan, melihat segala dampak tersebut, koalisi meminta pemerintahan baru untuk merevisi Perpres Nomor 112 Tahun 2022.
"Khususnya Pasal 3 Ayat 4 huruf (b) untuk melarang pembangunan PLTU baru, menghentikan PLTU industri yang sedang beroperasi dan sedang tahap pembangunan, serta moratorium seluruh izin PLTU batu bara," ucap Muhajir.
Dia juga meminta Presiden Prabowo untuk tidak tunduk kepada oligarki batu bara dan segera meninggalkan penggunaan batu bara di sektor industri.
"Serta memulihkan hak lingkungan dan kesehatan bagi masyarakat terdampak, juga menghentikan solusi palsu transisi energi, dan segera wujudkan RUU (rancangan undang-undang) keadilan iklim,” ucap Muhajir.
Baca juga: IESR: Kapasitas PLTU Perlu Dikurangi 2-3 GW per Tahun hingga 2045
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya