Secara historis, dana infrastruktur transisi energi menghadapi tantangan kinerja, khususnya selama periode 2008-2013, ketika gelembung spekulatif dan harga bahan bakar fosil yang berfluktuasi mengakibatkan kinerja yang buruk.
Krisis keuangan global menyebabkan penurunan permintaan energi, yang merugikan keuntungan untuk proyek-proyek terbarukan.
Tetapi sejak 2014, terjadi pembalikan yang signifikan terhadap dana-dana spesialis.
Masa depan pun tampak menjanjikan bagi dana-dana infrastruktur transisi energi, dengan faktor-faktor seperti meningkatnya permintaan energi global (diperkirakan tumbuh antara 11 persen dan 18 persen pada tahun 2050) dan kebijakan pemerintah yang mendukung.
Tapi di sisi lain persaingan dan tekanan biaya (misalnya, kenaikan harga untuk unsur-unsur tanah jarang) dapat menimbulkan tantangan. Namun hal itu bisa diatasi dengan kemajuan dalam jaringan pintar, penyimpanan energi, dan teknologi lainnya akan membantu mengurangi risiko.
Dengan hampir $215 miliar yang dikumpulkan oleh dana-dana infrastruktur transisi energi spesialis sejak 2014 dan jalur yang jelas menuju pertumbuhan yang berkelanjutan, sektor ini diposisikan dengan baik untuk investasi lebih lanjut.
Seperti yang dicatat Anikka Villegas, tekanan pemangku kepentingan, dukungan pemerintah, dan kemajuan teknologi akan terus mendorong keberhasilan dana ini, berkontribusi pada masa depan yang lebih berkelanjutan dan menguntungkan bagi investor.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya