Laporan juga mencatat bahwa negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah di Asia-Pasifik, tidak termasuk Asia Tengah, merupakan kawasan terbesar kedua yang menerima pembiayaan campuran untuk iklim.
Antara tahun 2021 dan 2023, sekitar 28 persen dari transaksi terkait iklim diarahkan ke kawasan ini.
Ini adalah proporsi yang lebih rendah dibandingkan dengan periode tiga tahun sebelumnya antara 2018 dan 2020, ketika kawasan tersebut menyumbang 32 persen dari pembiayaan tersebut.
Baca juga: Citra Satelit Bisa Bantu Lindungi Hutan Pesisir dari Perubahan Iklim
Namun, aktivitas transaksi meningkat sebesar 47 persen selama periode yang sama.
“Pembiayaan campuran memiliki potensi besar untuk mendukung transisi kawasan tersebut dari bahan bakar fosil dan meningkatkan aliran pembiayaan iklim swasta,” papar laporan ini.
Afrika Sub-Sahara menerima sebagian besar investasi tersebut sebesar 41 persen.
Sementara pembiayaan campuran iklim terutama terkonsentrasi di sekelompok negara tertentu antara tahun 2021 dan 2023.
India menduduki puncak daftar dengan 22 transaksi, sementara Vietnam (13 transaksi) dan Indonesia (9 transaksi).
Meskipun pada tahun 2023 terjadi peningkatan yang nyata dalam nilai transaksi untuk pembiayaan campuran iklim, Convergence mencatat bahwa kecepatan transaksi harus terus dipercepat.
“Standarisasi struktural yang lebih besar dari portofolio besar dan aset pembiayaan campuran iklim tingkat proyek merupakan langkah awal yang penting,” tambah laporan tersebut.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya