Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/12/2024, 17:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Sekitar 80 persen industri baja Indonesia masih menggunakan tungku peleburan logam yang padat emisi, yakni teknologi blast furnace (BF) dan basic oxygen furnace (BOF). 

Temuan tersebut mengemuka dalam studi terbaru Centre for Research for Energy and Clean Air (CREA) berjudul Potensi Penuh Besi dan Baja Indonesia Bergantung pada Teknologi Rendah Karbon yang dirilis baru-baru ini.

Dalam studi tersebut, investasi logam dasar Indonesia naik pesat beberapa tahun terakhir, dari 14,8 miliar dollar AS pada 2020 menjadi 37,3 miliar dollar AS pada 2023.

Baca juga: Emisi Karbon TikTok dalam Setahun Hampir Setara dengan Sebuah Negara

Investasi tersebut berasal dari dalam negeri maupun asing. Dari dalam negeri, Gunung Steel Group dilaporkan mencatatkan investasi yang besar.

Sedangkan investasi asing yang besar berasal dari China yakni Fuhai Group, Ansteel Group, dan Delong Group dan Korea Selatan yakni POSCO. 

Apabila semua proyek dalam perencanaan selesai dibangun, kapasitas industri nasional akan meningkat 125 persen untuk pembuatan baja dan 55 persen untuk pembuatan besi. 

Namun, sebagian besar investasi ini justru masuk ke proyek-proyek pembuatan baja dengan teknologi padat emisi seperti BF dan BOF.

Baca juga: China Bakal Perketat Aturan Emisi Metana dari Batu Bara

Dari 24,5 juta ton kapasitas pembuatan baja dalam perencanaan, 22,8 juta ton menggunakan BOF. Sedangkan dari rencana kapasitas 5,8 juta ton pembuatan besi, semuanya menggunakan BF.

Peneliti CREA Abdul Baits Dehana Padma Swastika mengatakan, Indonesia perlu melepaskan ketergantungan terhadap tungku peleburan padat emisi.

"Meskipun industri besi dan baja Indonesia telah muncul sebagai pemain global utama, ketergantungannya pada proses yang padat emisi masih menjadi penghalang bagi sektor ini untuk mengakses potensinya secara penuh," kata Baits dikutip dari keterangan tertulis, Rabu (18/12/2024).

Lemahkan daya saing

Tingginya kapasitas tungku peleburan padat emisi tersebut dapat melemahkan daya saing besi dan baja Indonesia.

Terutama mengenai kebijakan Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa (UE) yang akan segera diberlakukan.

Baca juga: Kebijakan Nol Emisi ASEAN Berakibat Biaya Produksi Pangan Naik

CBAM adalah kebijakan pengurangan emisi karbon dengan menambah tarif atau pajak bea masuk terhadap barang impor ke UE.

Di sisi lain, sejumlah negara dengan cepat beralih ke teknologi produksi baja rendah emisi seperti teknologi direct reduced iron (DRI) dan electric arc furnace (EAF). 

Secara global, porsi EAF dalam kapasitas baru yang direncanakan meningkat dua kali lipat dari 41 persen pada 2021 menjadi 92 persen pada 2023. 

Bahkan, dua negara tetangga Indonesia menunjukkan investasi EAF yang lebih tinggi, yaitu Vietnam dengan kapasitas 17,2 juta ton dan Filipina 12,8 juta ton.

Baca juga: Karena Perubahan Iklim, Padang Tundra Arktik Lepaskan Lebih Banyak Emisi

Sedangkan Indonesia, investasi untuk EAF hanya 1,7 juta ton. Selain itu, belum ada investasi untuk DRI.

Baits menuturkan, CREA mendorong pemerintah Indonesia memperkenalkan peta jalan teknologi dan kebijakan yang membatasi rute produksi yang bergantung pada batu bara.

Selain itu, CREA juga mendorong adopsi teknologi EAF dan mempromosikan strategi efisiensi material di seluruh siklus hidup baja. 

"Tindakan-tindakan ini akan menjadi sinyal bagi para investor untuk mengubah keputusan mereka, memposisikan industri dalam negeri memiliki daya saing, dan yang paling penting adalah menghindari risiko lock-in," papar Baits.

Baca juga: Kejar Emisi Nol, Meta Tambah Kapasitas PLTS

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau