JAKARTA, KOMPAS.com – Cadangan batu bara Indonesia kini mencapai 35 miliar ton dengan sumber daya sebesar 134 miliar ton. Jika digunakan secara bijak dan berkelanjutan, sumber daya tersebut diperkirakan dapat bertahan hingga 500 tahun untuk kebutuhan domestik.
Bahkan dengan skema sebagian diekspor, cadangan batu bara nasional diproyeksikan masih dapat dimanfaatkan hingga 200 tahun mendatang. Hal ini disampaikan oleh Ketua Umum Indonesia Mining Association (IMA), Rachmat Makkasau, dalam Seminar "Energy for Prosperity: The Economic Growth Impacts of Coal Mining" yang diselenggarakan oleh Energy and Mining Editor Society (E2S) pada Maret 2024.
Dengan potensi cadangan yang melimpah seperti itu, tak berlebihan bila batu bara masih menjadi salah satu penopang utama energi di Indonesia, terutama dalam sektor ketenagalistrikan.
Lagi pula, meski dunia tengah bergerak menuju transisi energi terbarukan, permintaan terhadap batu bara, baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor, diperkirakan akan tetap tinggi pada tahun-tahun mendatang. Stabilitas pasokan dan keterjangkauan harga menjadi alasan utama batu bara masih memegang peran krusial dalam menjaga ketahanan energi nasional.
Namun, di balik kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian dan ketahanan energi, sektor pertambangan batu bara dihadapkan pada berbagai tantangan yang kompleks, terutama terkait aspek Environmental, Social, and Governance (ESG). Tantangan ini meliputi dampak lingkungan akibat aktivitas tambang, tuntutan transparansi dalam operasional, serta harapan masyarakat lokal untuk mendapatkan manfaat yang berkelanjutan.
Baca juga: Upaya MHU Dongkrak Perekonomian Desa di Kaltim Dapat Pujian dari Menteri Desa dan PDT
Permasalahan tersebut tidak hanya bersifat teknis tetapi juga mencakup aspek etika, kepatuhan hukum, dan hubungan dengan berbagai pemangku kepentingan.
Dalam EY Mining & Metals Business Risks and Opportunities Survey Data 2024 disimpulkan bahwa isu ESG juga reputasi dan pengakuan dari masyarakat atau lebih dikenal sebagai license to operate (LTO) teridentifikasi sebagai risiko bisnis utama bagi sektor tambang di seluruh dunia pada tahun-tahun mendatang.
Laporan tersebut melibatkan 150 orang level eksekutif pada industri tambang global untuk disurvei pada Juni-Juli 2023.
Detailnya, 64 persen responden menempatkan dampak terhadap komunitas lokal sebagai prioritas tertinggi, disusul pengelolaan limbah 55 persen, dan manajemen sumber daya air 51 persen.
Hal itu menunjukkan bahwa praktik pertambangan yang berkelanjutan bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan. Dampak negatif seperti degradasi lingkungan, pengelolaan limbah yang buruk, dan kurangnya pemberdayaan masyarakat lokal bisa menimbulkan konsekuensi jangka panjang, baik dari segi lingkungan maupun stabilitas sosial.
Dalam konteks ini, penerapan Kaidah Penambangan yang Baik atau Good Mining Practice (GMP) menjadi krusial.
GMP tidak hanya berfokus pada efisiensi operasional, tetapi juga memastikan bahwa aktivitas pertambangan sejalan dengan perlindungan lingkungan, kesejahteraan masyarakat, serta kepatuhan terhadap regulasi yang berlaku. GMP menekankan pentingnya tanggung jawab sosial perusahaan, praktik tata kelola yang transparan, dan inovasi berkelanjutan dalam mengelola sumber daya alam.
MMS Group Indonesia (MMSGI) memahami urgensi penerapan ESG sebagai standar dalam aktivitas pertambangan. MMSGI tidak hanya merespons tantangan industri tambang, tetapi juga menetapkan standar baru dalam praktik pertambangan yang berkelanjutan. Hal ini diwujudkan melalui berbagai inovasi, program pemberdayaan masyarakat, dan komitmen terhadap tata kelola perusahaan yang baik.
Baca juga: Komitmen MMSGI Menyulap Lahan Pascatambang Jadi Taman Kehidupan di Bumi Mahakam
“Kami percaya bahwa keberlanjutan adalah bagian integral dari operasi bisnis. Melalui implementasi ESG, kami ingin memastikan bahwa keberadaan kami membawa manfaat bagi semua pihak, terutama masyarakat sekitar area tambang,” ujar General Manager Mining Support PT Multi Harapan Utama (MHU), Wijayono Sarosa, dalam wawancara tertulis dengan Kompas.com, Senin (17/12/2024).
Komitmen penerapan ESG dituangkan MMSGI dalam kebijakan operasional, pelaporan keberlanjutan tahunan, dan pelibatan seluruh anak perusahaan, termasuk salah satunya MHU.
Namun, sebelum segalanya dijalankan, MMSGI melakukan pemetaan kebutuhan mendasar, kajian risiko, dan pilar inti pembangunan keberlanjutan, mulai sosial, ekonomi, lingkungan, hukum, dan tata kelola.
“Berlandaskan komitmen untuk mewujudkan Good Corporate Citizenship, MMSGI berupaya untuk mengintegrasikan konsep ESG ke seluruh strategi bisnis ataupun operasionalnya.
Sebagai holding group, MMSGI saat ini fokus kepada penguatan pilar governance. Sementara lingkungan dan sosial menjadi tanggung jawab operating company,” jelasnya.
Baca juga: Wujudkan Komitmen terhadap Pelestarian Lingkungan, MHU-MMSGI Raih Proper Hijau 2023
Untuk aspek sosial, MHU berstrategi memperluas cakupan program pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat. Di sisi lingkungan, pihaknya terus memperkuat inisiatif reforestasi dan pengelolaan limbah.
Berpegang pada visi dan misi MMSGI, komitmen MHU dalam menyeimbangkan kebutuhan energi dan keberlanjutan terhadap lingkungan terekam lewat tagline yang diusung, yakni “Syncnergy for the Future”.
“Hasilnya, beragam program yang berkaitan dengan budaya dan kearifan lokal, kesejahteraan dan penghidupan, serta lingkungan mulai dipetakan. Tak lupa, keluhan masyarakat juga didengar dan dikumpulkan. Keterbukaan, keterlibatan, kemitraan, dan pemberdayaan masyarakat turut dibangun,” tambah Wijayono.
Pihaknya juga mengeluarkan Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM) sebagai pedoman program yang dijalankan. Pedoman ini menjadi pagar bagi perusahaan agar komitmen bisa diwujudkan dengan baik sekaligus memitigasi risiko sesuai dengan arahan dan kebijakan perusahaan induk dan pemerintah, sekaligus mempertimbangkan hasil dari Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) dan blueprint program Penerima Pengembangan dan pemberdayaan Masyarakat (PPM) di wilayah Kalimantan Timur (Kaltim).
Dengan acuan dan pedoman yang dibuat, sejumlah program telah dijalankan. Lahan-lahan bekas tambang di Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kota Samarinda, misalnya, sudah direforestasi sebagai upaya mengurangi emisi karbon untuk menghidupkan kembali ekosistem yang sempat hilang.
Berkat program itu, Kawasan Arboretum Busang di Kelurahan Loa Ipuh Darat, Kecamatan Tenggarong, Kota Samarinda, Kaltim telah menjadi kawasan alam multifungsi sejak 2018. Beragam jenis pohon bisa ditemui di sini. Ada pula hewan, mulai kukang Kalimantan hingga penangkaran rusa sambar.
Baca juga: Lalu Lalang Kukang di Arboretum Busang, Bukti Keberhasilan Restorasi Alam
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya