Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Herman Agustiawan

Anggota Dewan Energi Nasional periode 2009-2014

Swasembada Energi Bukan Mimpi (2)

Kompas.com - 07/01/2025, 10:56 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Listrik

Menurut United Nations Development Programme (UNDP), konsumsi listrik per kapita sekitar 4.000 kWh/tahun dianggap sebagai ambang batas kesejahteraan rakyat yang setara dengan Human Development Index (HDI) antara 0,8 - 0,9.

Sebagai perbandingan, nilai HDI pada tahun 2022 di Jepang (0,92), China (0,788), AS (0,927), Inggris (0,94) dan Jerman (0,95). Sementara Indonesia (0,713), Filipina (0,71) Vietnam (0,726), Thailand (0,803), Malaysia (0,807) dan Singapura (0,949) atau peringkat ke-9 dunia.

Jika konsumsi listrik digunakan sebagai acuan, maka tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia jauh ketinggalan, karena rakyat pada umumnya masih “berkutat” dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimal yang juga sangat rendah.

Kementerian ESDM, Litbang KOMPAS Konsumsi Listrik per Kapita 1970-2022

Grafik Konsumsi Listrik per Kapita 1970-2022 (Sumber: Kementerian ESDM, Litbang KOMPAS)

Untuk mencapai konsumsi listrik per kapita 4.000 kWh/tahun sangat berat, mengingat selama 30 tahun (1992 - 2022) pertumbuhan konsumsi listrik per kapita rata-rata Indonesia hanya sekitar 32,65 kWh/tahun. Indonesia juga sudah mengimpor listrik dari Malaysia di Kalimantan Barat.

Diolah dari berbagai sumber Impor Listrik Indonesia dari Malaysia 2013-2023

Grafik Impor Listrik Indonesia dari Malaysia 2013-2023

Jika pada 2024 konsumsi listrik per kapita (misal) 1.400 kWh, kapasitas pembangkit listrik terpasang 91,2 GW, pertambahan penduduk 1 persen per tahun dan tidak ada shutdown pembangkit hingga 2045, maka untuk mencapai konsumsi per kapita sebesar 4.000 kWh, kapasitas pembangkit listrik baru yang harus dibangun sekitar 229 GW. Sehingga, total kapasitas terpasang pada 2045 menjadi 320,2 GW.

Tantangan ini akan semakin sulit jika pembangkit baru harus menggunakan sumber energi bersih, andal dan murah.

Kembali ke pertanyaan awal, “Apakah Indonesia sudah Mandiri Energi?”

Berdasarkan fakta-fakta di atas, jika mengacu kepada definisi kemandirian energi di atas, maka Indonesia yang mengimpor minyak mentah, BBM dan Listrik adalah negara yang Belum Mandiri Energi.

“Bagaimana dengan Jepang, Korea Selatan, Singapura dll. yang tidak memiliki SDE yang berlimpah seperti Indonesia tetapi mereka Mandiri Energi?”

Apabila kemandirian energi ditinjau dari neraca perdagangan, maka Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang miskin akan SDE migas, dapat dikatakan Mandiri Energi karena neraca perdagangannya surplus, yakni nilai ekspor lebih besar daripada impor.

Baca juga: Produksi Kendaraan Listrik di China Disebut Bisa Pangkas Emisi dan Atasi Polusi

 

Demikian halnya dengan Amerika Serikat (AS), meskipun mengimpor crude tetapi juga mengekspor LNG, LPG, batu bara, crude dan produk turunannya sehingga neraca perdagangan AS menjadi surplus dan dikategorikan sebagai negara mandiri energi.

Sebuah negara dapat dikatakan swasembada energi jika negara tersebut telah mandiri energi seperti AS. Namun demikian, negara yang mandiri energi belum tentu dapat dikatakan swasembada energi seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan.

Kesimpulannya, Bangsa Indonesia belum sepenuhnya mandiri energi, baik berupa Minyak mentah, BBM maupun Listrik.

Sebuah negara boleh jadi miskin SDE, tetapi mereka memiliki uang, infrastruktur, dan teknologi sehingga negara tersebut dikatakan Mandiri Energi.

“Tantangan Indonesia ke depan adalah mengelola SDE yang beragam menjadi Energi yang berlimpah, bersih dan murah guna membangun masa depan bangsa.”

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau