Melanjutkan pembahasan sebelumnya mengenai "Swasembada Energi Bukan Mimpi bagian 1", pada bagian ini penulis ingin membahas Indonesia menuju Swasembada Energi.
Apa saja yang harus dipahami dan disamakan persepsinya, serta apa yang harus dilakukan selama 20 tahun ke depan guna mencapai ambisi Indonesia Emas tahun 2045?
Indonesia kerap disebut sebagai negara yang memiliki Sumber Daya Energi (SDE) yang berlimpah. Pertanyaan: “Apakah sebutan itu benar?”
Jika ditinjau dari keragaman jenis SDE-nya, sebutan itu Benar. Indonesia memiliki hampir semua jenis SDE, baik yang tak terbarukan (fosil) maupun yang baru dan terbarukan (EBT). Namun, jumlah Energi yang termanfaatkan oleh rakyat masih sangat sedikit.
Ket: Tabel Cadangan, Potensi, Termanfaatkan dan Produksi SDE Indonesia
Dengan memiliki SDE yang beragam tersebut, “Apakah Indonesia sudah Mandiri Energi?”
Untuk menjawab pertanyaan itu, mari kita samakan persepsi terkait beberapa istilah berikut (UU No. 30/2007 tentang Energi).
Baca juga: Rekor, Bauran Energi Terbarukan Jerman Capai 59 Persen pada 2024
Sumber Daya Alam (SDA) adalah segala sesuatu yang berasal dari alam yang dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan bangsa, seperti hutan, air, lahan, bahan tambang dan mineral. Sedangkan SDE adalah SDA yang dimanfaatkan, baik sebagai sumber energi maupun energi.
Untuk dapat diolah menjadi energi final, yaitu energi yang langsung dapat dikonsumsi oleh para pengguna akhir, SDE tersebut harus diproduksi, diangkut dan dikonversi menjadi sumber energi terlebih dahulu.
Sumber energi adalah sesuatu yang dapat menghasilkan energi, baik secara langsung maupun melalui proses konversi.
Oleh karena jenis energi yang sering digunakan adalah minyak, gas, dan listrik, maka pembahasan kemandirian akan ditinjau dari ketiga jenis energi tersebut.
Pada masa Orde Baru (1966 – 1998) Indonesia pernah mencatat swasembada beras pada tahun 1984 atau Repelita IV. Pada saat itu produksi beras Indonesia mencapai 27 juta ton, melebihi konsumsi domestik sebesar 25 juta ton.
Indonesia pun pernah mengalami surplus produksi minyak mentah dan menjadi anggota the Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) pada 1962. Pada era 1970 dan 1980-an jumlah produksi minyak pernah menyentuh 1,7 juta Bph (Barel per hari), melebihi konsumsi domestik saat itu, sekitar 500.000 Bph.
Grafik Produksi dan Konsumsi Minyak Bumi Indonesia (1980 – 2018)
Namun, sejak 2003 Indonesia berubah dari negara pengekspor menjadi pengimpor minyak. Kemudian pada 2004 Indonesia dikategorikan sebagai negara net oil importer, karena produksi lebih kecil daripada konsumsi.
Program produksi minyak Indonesia 1 juta Bph telah diinisiasi sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama (2004 – 2009).
Saat ini, terjadi penurunan produksi karena lapangan minyak besar telah menipis cadangannya, dan tidak ada pengembangan lapangan baru yang besar. Hampir semua cekungan migas prolifik pernah dievaluasi, tetapi hasilnya kurang potensial. Sehingga banyak perusahaan minyak besar dunia mengurangi portofolio eksplorasinya di Indonesia.
Berbeda dengan swasembada beras, tantangan swasembada energi lebih kompleks. Selain diperlukan untuk mensejahterakan rakyat, jaminan pasokan energi juga sangat diperlukan di sektor Industri, Transportasi dan sektor Bangunan Komersial.
Kembali ke pertanyaan di atas, menurut PP No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional:
“Kemandirian energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.”
Baca juga:
Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023, konsumsi BBM domestik sekitar 1,42 juta Bph. Sedangkan, jumlah impor minyak mentah dan BBM sekitar 826,16 ribu Bph, yang terdiri dari 362,7 ribu Bph minyak mentah dan 463,46 ribu Bph BBM.
Sehingga, rasio impor minyak mentah dan BBM terhadap konsumsi BBM Indonesia sebesar 58,17 persen.
Ini adalah jumlah impor yang besar dan berdampak terhadap devisa serta perekonomian nasional.
Kebutuhan BBM domestik ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi.
Upaya untuk mengurangi impor BBM telah banyak dilakukan, mulai dari program efisiensi, diversifikasi dengan CNG, listrik, biosolar, bioethanol dan sebagainya. Namun yang dianggap berhasil adalah biosolar.
Program ini telah dijalankan sejak 2008, dan dalam 10 tahun terakhir produksi biosolar telah meningkat dari 1,01 juta KL pada 2013 menjadi 12,67 juta KL pada 2023, setara 218,42 ribu Bph.
Tanpa ada pasokan biosolar, maka jumlah impor minyak mentah dan BBM mencapai 73,54 persen. Artinya, kalau Indonesia ingin ke luar dari ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan BBM, maka diversifikasi bahan bakar ke depan harus dijadikan program utama pemerintah.
Gas Bumi bisa dijadikan jembatan yang andal di kala Indonesia bergerak menuju era rendah karbon. Indonesia masih memiliki cadangan gas yang cukup besar, yakni sekitar 35,3 TSCF.
Gas mampu mengurangi ketergantungan pada energi kotor, yakni BBM di sektor transportasi dan batu bara di sektor pembangkit. Penggunaan gas yang masif dapat mendorong Indonesia menjadi negara mandiri energi.
Saat ini gas banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur dan di Laut dalam. Kegiatan eksplorasi di laut dalam sudah banyak dilakukan, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Baca juga: Negara UE Perbarui Sasaran Energi Terbarukan Lepas Pantai
Pengembangan sumur cadangan gas baru lebih menantang dari sisi biaya, teknologi, transportasi, infrastruktur dan jangka waktu kontrak. Sehingga harga gas domestik cenderung lebih mahal ketimbang mengimpor LNG dari luar negeri dalam jangka waktu yang panjang.
Apakah Indonesia Mandiri Gas Bumi? Jawabnya “Ya” tetapi hanya dalam waktu relatif singkat.
Untuk jangka waktu lama “Tidak.” Mengapa? Karena kebutuhan gas domestik cenderung meningkat, sedangkan infrastruktur, terminal regasifikasi, jaringan transmisi serta distribusi gas, jaringan pipa gas dll., masih terbatas dan terputus-putus.
Grafik Neraca Gas Indonesia: Permintaan, Impor dan Pasokan Gas 2024-2040
Pada grafik di atas diperlihatkan bahwa pada tahun 2024 Indonesia masih berada dalam kondisi seimbang. Namun, pasca-2024, diperkirakan akan terjadi defisit yang signifikan, karena permintaan melebihi pasokan domestik.
Defisit Gas ini diperkirakan akan semakin tinggi pada 2040, sehingga impor LNG dalam volume yang besar adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur gas yang merata harus segera dijalankan.
Seiring dengan dinamika global, peningkatan ketergantungan pada LNG impor ini dapat membuat Indonesia terpapar risiko geopolitik. Kondisi ini akan menghambat terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi yang pada akhirnya Indonesia akan gagal menjadi negara Swasembada Energi pada 2045.
Menurut United Nations Development Programme (UNDP), konsumsi listrik per kapita sekitar 4.000 kWh/tahun dianggap sebagai ambang batas kesejahteraan rakyat yang setara dengan Human Development Index (HDI) antara 0,8 - 0,9.
Sebagai perbandingan, nilai HDI pada tahun 2022 di Jepang (0,92), China (0,788), AS (0,927), Inggris (0,94) dan Jerman (0,95). Sementara Indonesia (0,713), Filipina (0,71) Vietnam (0,726), Thailand (0,803), Malaysia (0,807) dan Singapura (0,949) atau peringkat ke-9 dunia.
Jika konsumsi listrik digunakan sebagai acuan, maka tingkat kesejahteraan rakyat Indonesia jauh ketinggalan, karena rakyat pada umumnya masih “berkutat” dengan pemenuhan kebutuhan pokok minimal yang juga sangat rendah.
Grafik Konsumsi Listrik per Kapita 1970-2022 (Sumber: Kementerian ESDM, Litbang KOMPAS)
Untuk mencapai konsumsi listrik per kapita 4.000 kWh/tahun sangat berat, mengingat selama 30 tahun (1992 - 2022) pertumbuhan konsumsi listrik per kapita rata-rata Indonesia hanya sekitar 32,65 kWh/tahun. Indonesia juga sudah mengimpor listrik dari Malaysia di Kalimantan Barat.
Grafik Impor Listrik Indonesia dari Malaysia 2013-2023
Jika pada 2024 konsumsi listrik per kapita (misal) 1.400 kWh, kapasitas pembangkit listrik terpasang 91,2 GW, pertambahan penduduk 1 persen per tahun dan tidak ada shutdown pembangkit hingga 2045, maka untuk mencapai konsumsi per kapita sebesar 4.000 kWh, kapasitas pembangkit listrik baru yang harus dibangun sekitar 229 GW. Sehingga, total kapasitas terpasang pada 2045 menjadi 320,2 GW.
Tantangan ini akan semakin sulit jika pembangkit baru harus menggunakan sumber energi bersih, andal dan murah.
Kembali ke pertanyaan awal, “Apakah Indonesia sudah Mandiri Energi?”
Berdasarkan fakta-fakta di atas, jika mengacu kepada definisi kemandirian energi di atas, maka Indonesia yang mengimpor minyak mentah, BBM dan Listrik adalah negara yang Belum Mandiri Energi.
“Bagaimana dengan Jepang, Korea Selatan, Singapura dll. yang tidak memiliki SDE yang berlimpah seperti Indonesia tetapi mereka Mandiri Energi?”
Apabila kemandirian energi ditinjau dari neraca perdagangan, maka Jepang, Korea Selatan dan Singapura yang miskin akan SDE migas, dapat dikatakan Mandiri Energi karena neraca perdagangannya surplus, yakni nilai ekspor lebih besar daripada impor.
Baca juga: Produksi Kendaraan Listrik di China Disebut Bisa Pangkas Emisi dan Atasi Polusi
Demikian halnya dengan Amerika Serikat (AS), meskipun mengimpor crude tetapi juga mengekspor LNG, LPG, batu bara, crude dan produk turunannya sehingga neraca perdagangan AS menjadi surplus dan dikategorikan sebagai negara mandiri energi.
Sebuah negara dapat dikatakan swasembada energi jika negara tersebut telah mandiri energi seperti AS. Namun demikian, negara yang mandiri energi belum tentu dapat dikatakan swasembada energi seperti Singapura, Jepang dan Korea Selatan.
Kesimpulannya, Bangsa Indonesia belum sepenuhnya mandiri energi, baik berupa Minyak mentah, BBM maupun Listrik.
Sebuah negara boleh jadi miskin SDE, tetapi mereka memiliki uang, infrastruktur, dan teknologi sehingga negara tersebut dikatakan Mandiri Energi.
“Tantangan Indonesia ke depan adalah mengelola SDE yang beragam menjadi Energi yang berlimpah, bersih dan murah guna membangun masa depan bangsa.”
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya