Kembali ke pertanyaan di atas, menurut PP No. 79 tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional:
“Kemandirian energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dengan memanfaatkan semaksimal mungkin potensi dari sumber dalam negeri.”
Baca juga:
Berdasarkan Handbook of Energy & Economic Statistics of Indonesia 2023, konsumsi BBM domestik sekitar 1,42 juta Bph. Sedangkan, jumlah impor minyak mentah dan BBM sekitar 826,16 ribu Bph, yang terdiri dari 362,7 ribu Bph minyak mentah dan 463,46 ribu Bph BBM.
Sehingga, rasio impor minyak mentah dan BBM terhadap konsumsi BBM Indonesia sebesar 58,17 persen.
Ini adalah jumlah impor yang besar dan berdampak terhadap devisa serta perekonomian nasional.
Kebutuhan BBM domestik ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan ekonomi.
Upaya untuk mengurangi impor BBM telah banyak dilakukan, mulai dari program efisiensi, diversifikasi dengan CNG, listrik, biosolar, bioethanol dan sebagainya. Namun yang dianggap berhasil adalah biosolar.
Program ini telah dijalankan sejak 2008, dan dalam 10 tahun terakhir produksi biosolar telah meningkat dari 1,01 juta KL pada 2013 menjadi 12,67 juta KL pada 2023, setara 218,42 ribu Bph.
Tanpa ada pasokan biosolar, maka jumlah impor minyak mentah dan BBM mencapai 73,54 persen. Artinya, kalau Indonesia ingin ke luar dari ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan BBM, maka diversifikasi bahan bakar ke depan harus dijadikan program utama pemerintah.
Gas Bumi bisa dijadikan jembatan yang andal di kala Indonesia bergerak menuju era rendah karbon. Indonesia masih memiliki cadangan gas yang cukup besar, yakni sekitar 35,3 TSCF.
Gas mampu mengurangi ketergantungan pada energi kotor, yakni BBM di sektor transportasi dan batu bara di sektor pembangkit. Penggunaan gas yang masif dapat mendorong Indonesia menjadi negara mandiri energi.
Saat ini gas banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur dan di Laut dalam. Kegiatan eksplorasi di laut dalam sudah banyak dilakukan, namun hasilnya masih belum menggembirakan.
Baca juga: Negara UE Perbarui Sasaran Energi Terbarukan Lepas Pantai
Pengembangan sumur cadangan gas baru lebih menantang dari sisi biaya, teknologi, transportasi, infrastruktur dan jangka waktu kontrak. Sehingga harga gas domestik cenderung lebih mahal ketimbang mengimpor LNG dari luar negeri dalam jangka waktu yang panjang.
Apakah Indonesia Mandiri Gas Bumi? Jawabnya “Ya” tetapi hanya dalam waktu relatif singkat.
Untuk jangka waktu lama “Tidak.” Mengapa? Karena kebutuhan gas domestik cenderung meningkat, sedangkan infrastruktur, terminal regasifikasi, jaringan transmisi serta distribusi gas, jaringan pipa gas dll., masih terbatas dan terputus-putus.
Grafik Neraca Gas Indonesia: Permintaan, Impor dan Pasokan Gas 2024-2040
Pada grafik di atas diperlihatkan bahwa pada tahun 2024 Indonesia masih berada dalam kondisi seimbang. Namun, pasca-2024, diperkirakan akan terjadi defisit yang signifikan, karena permintaan melebihi pasokan domestik.
Defisit Gas ini diperkirakan akan semakin tinggi pada 2040, sehingga impor LNG dalam volume yang besar adalah suatu keniscayaan. Oleh karena itu, pembangunan infrastruktur gas yang merata harus segera dijalankan.
Seiring dengan dinamika global, peningkatan ketergantungan pada LNG impor ini dapat membuat Indonesia terpapar risiko geopolitik. Kondisi ini akan menghambat terwujudnya ketahanan dan kemandirian energi yang pada akhirnya Indonesia akan gagal menjadi negara Swasembada Energi pada 2045.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya