JAKARTA, KOMPAS.com - Model bisnis dan tata kelola Pertamina disebut sudah lama bergerak ke arah keberlanjutan. Selama berbenah menuju keberlanjutan, Pertamina menerapkan strategi pertumbuhan ganda (dual growth strategy) dengan dua pilar utamanya.
Pertama, memperkuat bisnis inti minyak dan gas bumi (migas) yang sudah ada (legacy business), di antaranya kegiatan bisnis di bagian hulu (upstream business), kilang (refinery), petrokimia (petrochemicals), serta komersial dan perdagangan lainnya.
Baca juga:
Kedua, mengembangkan energi "hijau" dan bisnis rendah karbon untuk masa depan. Misalnya, teknologi Carbon Capture and Storage/Utilization and Storage (CCS/CCUS), bisnis panas bumi (geothermal), bioetanol, serta hidrogen yang ke depannya bisa menjadi energi baru untuk Indonesia.
"Karena bisa kita lihat Indonesia sebenarnya cukup berlimpah dari sisi renewable resource (sumber daya alam yang dapat diperbaharui). Cuma ya, tentunya saat ini kan kondisinya masih sangat high risk (berisiko tinggi), high capex (Capital expenditure atau perusahaan mengeluarkan biaya modal yang besar untuk investasi aset jangka panjang) ya kan. Regulasinya juga mungkin harus di-review lagi agar benar-benar favorable untuk kami kembangkan," ujar VP Investor Relations Pertamina, Juferson Victor Mangempis kepada Kompas.com di Jakarta Pusat, Kamis (18/12/2025).
Peluncuran buku Road to Trust: Strategi Pertamina Membangun Relasi Solid dengan Investor di BBJ Art Gallery, Menara Kompas, pada hari ini, Kamis (18/12/2025). Melalui anak usahanya yakni PT Pertamina Geothermal Energy (PGE), Pertamina menjadi pemain utama dalam industri panas bumi di Indonesia.
PGE beroperasi di beberapa wilayah strategis, seperti Kamojang, Jawa Barat; Ulubelu (Lampung); Lumut Balai, Sumatera Selatan; dan Lahendong, Sulawesi Utara.
Panas bumi disebut lebih unggul daripada tenaga surya, angin, atau energi baru terbarukan (EBT) lainnya. Bahkan, sebagai base load, pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) menyuplai listrik kepada PLN secara stabil.
Menurut Juferson, Indonesia dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dengan pasokan dari energi "hijau" ini jika serius menggarapnya.
"Tentunya, PGE bukan hanya mengembangkan (panas bumi) jadi listrik. Makanya, green hydrogen dan bioetanol itu menjadi turunan dari geothermal ini. Makanya, kenapa terus terang kami mendorong agar pengembangan geothermal ini bisa lebih maju lagi," tutur Juferson.
PGE sudah menjadi perusahaan terbuka (Tbk) sejak melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada pertengahan Februari 2023. Pertamina mendorong PGE mengembangkan energi panas bumi, termasuk melalui penawaran saham publik untuk menarik investor.
Obligasi hijau (green bond) yang diterbitkan mendapatkan respons positif, menunjukkan tingginya minat investor terhadap proyek-proyek energi geothermal.
"Harga sahamnya bisa dilihat juga kan, tumbuh sangat luar biasa, signifikan. Jadi, ini menunjukkan bahwa ada kepeminatan yang besar dari sisi investor terhadap pengembangan bisnis kami," ucapnya.
Baca juga: Pertamina Salurkan Bantuan untukUrban Farming dan Pengelolaan Sampah Senilai Rp 6,5 Miliar
Foto udara Pembangkit Listrik Tenaga Panas bumi (PLTP) di Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Senin (15/9/2025). Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat Indonesia merupakan negara dengan potensi panas bumi terbesar di dunia, mencapai sekitar 40 persen dari total potensi global atau sekitar 23,7 gigawatt (GW) dan menargetkan penambahan kapasitas PLTP sebesar 5,2 GW pada Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025-2034. ANTAFOTO/Adeng Bustomi/nzPengembangan energi panas bumi perlu didukung oleh kerangka hukum yang memadai, khususnya dengan adanya Undang-Undang EBT (Energi Baru Terbarukan) yang baru.
Kendati demikian, lokasi operasi di kawasan terpencil atau bahkan hutan lindung, menjadi tantangan tersendiri dalam pengembangan energi panas bumi di Indonesia.
"Di Kamojang, itu bahkan kami punya penangkaran elang jawa, kami mengembangkan kopi di sana. Sebenarnya, PGE enggak hanya berbisnis, tapi juga menjaga lingkungan dan membantu masyarakat sekitar sehingga mereka maju bersama dengan kami, karena buat apa kami untung, tapi kalau masyarakat sekitar tetap menderita dan lingkungan rusak," ujar Juferson.
Baca juga: Pertamina NRE Terbitkan Kredit Karbon Baru, Diklaim 90 Persen Terjual
PLTP Kamojang. Sebelumnya, Pjs. General Manager Pertamina Geothermal Energy (PGE) Area Kamojang, Hendrik K. Sinaga menilai, PLTP lebih tahan terhadap krisis iklim dibandingkan dari sumber energi baru terbarukan (EBT) lainnya.
Misalnya, pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB), pembangkit listrik tenaga air (PLTA), dan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS).
PLTP merupakan satu-satunya pembangkit listrik EBT base load.
Sebagai pembangkit listrik base load, PLTP bisa beroperasi secara terus-menerus untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
PLTP berkapasitas tinggi dapat menyuplai listrik kepada PLN secara stabil atau relatif tidak mudah terganggu faktor eksternal.
"Artinya, tidak naik turun. Sedangkan EBT lain seperti PLTS, PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu), dan PLTA (Pembangkit Listrik Tenaga Air) akan dipengaruhi oleh cuaca, iklim. Ketika matahari redup, produksi listrik dari PLTS menjadi tidak stabil," ucap Hendrik, Kamis (6/11/2025).
"Jadi pembangkit EBT lain yang notabene produknya tidak stabil itu biasanya digunakan sebagai peak load saja. Sedangkan base load digunakan dalam jumlah besar karena produksinya stabil. Yang biasanya untuk base load ini PLTP dan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap), untuk EBT itu hanya di PLTP," tambah dia.
Baca juga:
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya