Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jejaring Organisasi Masyarakat Sipil Serukan Tolak Perdagangan Karbon

Kompas.com - 02/10/2023, 19:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Sejumlah organisasi masyarakat sipil menolak dan menyerukan boikot perdagangan karbon yang beberapa hari lalu diluncurkan pemerintah.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokow) resmi meluncurkan bursa karbon untuk melaksanakan perdagangan karbon pada Selasa (26/9/2023).

Penyelenggaraan bursa karbon di Indonesia dilakukan oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) melalui indeks IDXCarbon.

Baca juga: Siap Melantai di Bursa Karbon, PLN Buka 1 Juta Ton CO2

Organisasi masyarakat sipil yang menyerukan penolakan perdagangan karbon adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Greenpeace, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Yayasan Pikul, Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), dan School of Democratic Economics (SDE).

Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional Uli Arta Siagian mengatakan, perdagangan karbon adalah jalan sesat dalam mengatasi krisis iklim.

Dia menyampaikan, perdagangan karbon hanya akan mengizinkan korporasi dan negara-negara industri untuk terus mengekstraksi sumber daya alam.

"Baik melalui pembongkaran fosil bawah tanah, pembakaran fosil, deforestasi, ataupun proyek-proyek konservasi yang akan semakin memperpanjang rantai konflik serta krisis iklim," kata Uli dalam siaran pers yang diterima, Jumat (29/9/2023).

Baca juga: Kredit Karbon dan Masa Depan Bisnis Berkelanjutan

Sementara itu, Direktur Advokasi Kebijakan Hukum dan HAM AMAN Muhammad Arman menyampaikan, perdagangan karbon tersebut tidak mengakui, melindungi, dan memenuhi hak masyarakat adat.

Dia menambahkan, perdagangan karbon sama saja strategi "cuci tangan" pemerintah terhadap praktik-praktik industri ekstraktif sebagai penghasil emisi.

"Sekaligus bahwa politik dan praktik perdagangan karbon adalah metamorfosis dari oligarki ekstraktif ke industri yang seolah-olah melindungi lingkungan," tutur Muhammad Arman.

Di sisi lain, Torry Kuswardono dari Yayasan Pikul menilai, implementasi perdagangan karbon sebagai instrumen utama mengatasi krisis iklim adalah sebuah kemunduran.

Baca juga: Satu Dekade, Investasi Kredit Karbon Dunia Tembus Rp 557 Triliun

"Riset-riset terakhir membuktikan perdagangan karbon tidak secara otomatis menurunkan emisi secara faktual. Banyak sekali kredit karbon yang tidak terbukti menurunkan emisi," ucap Torry.

"Indonesia perlu memilih instrumen lain yang lebih kredibel baik dari sisi mitigasi, perlindungan lingkungan, perlindungan sosial, dan hak asasi manusia ketimbang instrumen pasar," sambungnya.

Ketua Tim Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas berujar, skema penyeimbang dan perdagangan karbon adalah narasi kebohongan yang berbahaya.

Dia menilai, penyeimbangan karbon sama saja merupakan izin untuk terus melakukan polusi.

Baca juga: Kadin Optimistis Indonesia Pimpin Pasar Karbon ASEAN

"Para pencemar dan pemerintah berusaha memenuhi target pengurangan karbon sambil tetap mengeluarkan karbon adalah ancaman serius bagi masa depan Bumi, rumah kita satu-satunya," ucap Arie.

Dalam surat bersama, jejaring organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah Indonesia dan global untuk tidak menerapkan perdagangan karbon.

Sebaliknya, mereka menyerukan empat tuntutan.

  1. Menghentikan operasionalisasi perdagangan karbon.
  2. Mempercepat dan memperluas pengakuan serta perlindungan wilayah kelola rakyat dan wilayah adat.
  3. Menurunkan emisi secepatnya dan secara drastis.
  4. Memulihkan ekologi dan meningkatkan kemampuan adaptif rakyat.

Baca juga: Pemerintah Masih Godok Aturan Pajak Karbon

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com