Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Provokasi Media Sosial dan Senioritas, Pemicu Maraknya Kekerasan oleh Anak

Kompas.com - 04/01/2024, 13:00 WIB
Faqihah Muharroroh Itsnaini,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Banyaknya kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak-anak maupun terhadap anak sepanjang tahun lalu, membuat isu ini mesti mendapat perhatian khusus. 

Dari pemberitaan Kompas.com (28/12/2023), Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat ada 3.547 kasus kekerasan terhadap anak sepanjang 2023.

Kasus tersebut dibagi ke dalam beberapa kelompok. Mulai dari hak asuh anak, anak berhadapan dengan hukum, kesehatan, penelantaran, perdagangan anak, pendidikan, serta kekerasan seksual dan fisik.

Kekerasan terhadap anak, apa pun latar belakang dan motifnya, memang masih menjadi pekerjaan rumah berbagai pihak, seperti lembaga pendidikan, penegak hukum, institusi agama, hingga orang tua.

Selain kekerasan terhadap anak, tak sedikit juga kekerasan yang dilakukan oleh anak. Keduanya membutuhkan pendekatan dan treatment yang berbeda dalam penanganannya.

Baca juga: Laporan Kasus Kekerasan terhadap Anak Naik 30 Persen

Selama ini, publik mendukung advokasi-advokasi yang dilakukan untuk membela anak korban kekerasan, entah yang diinisiasi lembaga pemerintah atau lembaga nonpemerintah.

Publik setuju bahwa pelaku kekerasan terhadap anak mesti mendapatkan hukuman yang layak, bahwa anak (sebagai korban) harus mendapatkan perhatian dari semua pihak.

Dilansir dari Antara, Kamis (4/1/2023), ini alasan mengapa kasus kekerasan oleh anak dengan korban sesama bocah di bawah umur atau dewasa sudah seharusnya juga menjadi perhatian semua pihak.

Tingginya kekerasan oleh anak dan penyelesaiannya

Salah satu yang perlu mendapat perhatian lebih adalah diselesaikannya kasus kekerasan oleh anak sebagai pelaku melalui jalur diversi, pengalihan penyelesaian perkara pidana anak dari proses peradilan pidana ke proses di luar peradilan pidana.

Dalam penyelesaian perkara melalui jalur tersebut, anak pelaku kekerasan didamaikan dengan korban di luar jalur peradilan dengan mengutamakan dialog atau musyawarah.

Baca juga:

Di Jakarta Barat, misalnya, terdapat 424 kasus dengan pelaku anak pada tahun 2022. Dari 424 kasus tersebut, 134 kasus diselesaikan melalui jalur diversi.

Sementara itu, pada semester awal tahun 2023, ada 95 kasus dengan 35 kasus di antaranya diselesaikan melalui diversi. Adapun mayoritas dari kasus tersebut adalah tawuran.

Akhirnya, muncul pertanyaan dari publik. Apakah anak pelaku kekerasan seharusnya diberi efek jera atau difasilitasi dengan jalur damai? Tidakkah hal tersebut dapat membuat pola pikir "kebal hukum" tertanam dalam benak dan perilaku anak?

Lebih jauh lagi, bukankah tindakan tersebut dapat membuat perilaku itu memicu efek domino, diikuti oleh anak yang lain dengan alasan mendapat perlindungan yang sama?

Anak tidak boleh dipandang sebagai pelaku

Empat anggota gangster yang ditangkap di SurabayaPolrestabes Surabaya Empat anggota gangster yang ditangkap di Surabaya
Di Jakarta, tingginya angka kekerasan terhadap anak juga diiringi oleh tingginya angka kekerasan oleh anak.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com