Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 18/01/2024, 15:01 WIB
M. Elgana Mubarokah,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com - Sektor swasta menilai regulasi untuk pabrik atau industri dalam implementasi Energi Baru Terbarukan (EBT) atau energi hijau masih terkesan setengah hati.

Presiden Direktur Garudafood Hardianto Atmadja mengatakan hal itu saat peresmian Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) untuk Atap Pabrik Garudafood di Jalan Raya Rancaekek-Sumedang, Jawa Barat, Rabu (18/1/2023).

Menurutnya, seandainya pemerintah menerapkan regulasi agar energi terbarukan untuk pabrik lebih besar, maka dampak yang bisa diterima Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk masyarakat akan lebih banyak.

Diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat capaian bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) hingga saat ini baru mencapai 12,8 persen. Sementara pada 2025 mendatang, bauran EBT RI ditargetkan dapat mencapai 23 persen.

Baca juga: Realisasi EBT 2023 Rendah, Berlawanan dengan Semangat Netralitas Karbon

"Sebetulnya sederhana saja. Kalau regulasi pemerintah yang awal diterapkan dengan pembukaan lebih besar, setiap energi dari pabrik yang diinvestasikan bisa dijalankan di pabrik dan eksesnya kemudian bisa masuk lewat PLN menuju masyarakat. Itu tentu akan jauh lebih cepat. Namun ini bicara aturan, kita harus patuh kepada aturan," papar Hardianto.

Bicara soal EBT, Garudafood sudah menggunakan PLTS, bahkan tahun ini akan mencapai 3 Megawatt atau setara 5.50.000 batang pohon setahun.

Instalasi PLTS Atap sudah dipenetrasikan di seluruh wilayah operasional Garudafood, yakni Pati Jawa Tengah, Gresik Jawa Timur dan Kantor Pusat Jakarta.

Adapun hari ini penetrasi PLTS di Pabrik Garudafood Sumedang, Jawa Barat, berkapasitas 810-kilowatt peak (kWp).

Melalui instalasi PLTS Atap ini, Garudafood telah melakukan upaya dekarbonisasi emisi hingga 1.000-ton karbondioksida (CO2) atau setara dengan penanaman 114.000 pohon setiap tahunnya.

"Garudafood itu ke depannya akan menuju zero energy, zero waste, dan zero polution. Kita mulai dengan langkah pertama ini. Kalau ngomong penghematan energi, kita sudah melakukan beberapa tahun lalu. Misalnya kita memproses balik energinya dari panas yang dibuang, kemudian dipakai untuk coldstorage. Mungkin sudah tujuh tahun yang lalu," imbuh Hardianto.

Menurutnya, penggunaan PLTS Atap di Garudafood sudah dicanangkan sejak lama, namun ada beberaoa kendala seperti pandemi, lingkungan serta peraturan yang berlaku.

Baca juga: Harga Listrik EBT Makin Murah, Siap Bersaing dengan Fosil

Jauh sebelumnya, pihaknya telah menggunakan EBT melalui kendaraan forklift yang sudah tidak menggunakan bahan bakar fosil lagi.

Hardianto menambahkan, 3 Megawatt yang saat ini digunakan oleh Garudafood menghemat sebanyak 10 persen energi yang dibutuhkan Garudafood.

Seharusnya, perusahaan atau industri bisa menghemat energi lebih besar jika tidak terkendala regulasi.

"Kalau dari total presentasi itu berkisar 10 persen. Kenapa kita gak bisa lebih besar, karena regulasi juga. Kalau regulasinya diperbolehkan lebih besar, dan otomatis kita juga bisa lakukan dengan lebih besar. Sebetulnya kita planingnya lebih besar, tapi kita harus bertahap juga," pungkasnya.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com