Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perlu Integrasi Penanganan TBC dan Stunting pada Anak

Kompas.com - 23/03/2024, 08:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kementerian Kesehatan Imran Pambudi mengatakan, integrasi antara penanganan tuberkulosis (TBC) dan stunting penting agar penyakit pada anak dapat segera diketahui dan diobati.

Imran menekankan, gejala penyakit TBC pada anak bukan batuk, melainkan berat badannya turun,

"Yang tidak mau makan, yang rewel, kemudian ada pembesaran kelenjar di leher," kata Imran sebagaimana dilansir Antara, Jumat (23/3/2024).

Baca juga: Waspadai TBC Laten, Ini Kelompok yang Rentan Tertular

Dia mengatakan hal tersebut sebagai respons dari pertanyaan mengenai kasus TBC pada anak karena ada peningkatan penemuan kasus 2,5 kali pada 2023 dibandingkan 2021.

Menurutnya, sejumlah faktor yang menyebabkan peningkatan penemuan seperti itu adalah penemuan kasus yang rendah pada saat pandemi Covid-19.

Sehingga para penderita belum sempat diobati saat itu, yang menyebabkan penularan pada orang lain.

Imran menyampaikan, yang membuat seseorang rentan terhadap TBC adalah merokok, penyakit lain yang menurunkan kekebalan seperti diabetes, serta nutrisi. Dia menilai, anak dengan nutrisi yang buruk rentan terkena TBC.

Karena gejala TBC pada anak bukanlah batuk, maka upaya pendeteksiannya diperluas melalui integrasi dengan kegiatan lain seperti penanganan stunting dengan penimbangan di pos pelayanan terpadu (posyandu).

Baca juga: Begini Perbedaan Batuk Pneumonia, Asma, dan TBC pada Anak Menurut Ahli

"Jadi pada saat penimbangan di posyandu, kalau ada anak yang dinilai berat badannya tidak mencapai berat badannya yang diharapkan, maka kita atau nages (tenaga kesehatan) akan melihat penyebabnya apa. Karena mungkin bukan hanya masalah gizi terutama," katanya.

Selain integrasi tersebut, katanya, upaya deteksi juga dilakukan dengan investigasi kontak. Apabila ada anggota keluarga yang terkena TBC, maka anak-anak yang tinggal dengan serumah juga perlu diperiksa.

Dalam kesempatan yang sama, Ketua Koalisi Organisasi Profesi Indonesia Untuk Penanggulangan Tuberkulosis (KOPI TB) Erlina Burhan mengatakan, anak adalah salah satu dari kelompok yang rentan terjangkit TBC karena sistem imunnya belum berkembang.

Dia mengatakan, dari 30 persen orang yang terinfeksi kuman penyebab TBC, 5 hingga 10 persennya langsung terkena penyakit itu. Sementara sisanya, kuman dalam status dorman.

Baca juga: Setiap Harinya, 385 Pasien TBC di Indonesia Meninggal Dunia

Menurutnya, terapi pencegahan tuberkulosis (TPT) perlu diberikan pada kelompok yang berisiko tinggi, agar kuman yang dorman tersebut tidak aktif.

Contoh orang yang berisiko tinggi tersebut seperti orang dengan HIV yang tidak terlalu berat dan orang yang tinggal serumah dengan pasien TBC seperti anak-anak balita serta remaja 5-14 tahun.

"Kemudian juga kelompok risiko layaknya adalah orang yang kekebalan tubuhnya rendah," kata dokter spesialis paru dari Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu.

Selain itu para tenaga kesehatan, warga binaan di penjara, pemakai narkoba, dan orang yang tinggal di permukiman padat penduduk.

Baca juga: Informasi Obat Pencegah TBC Diluncurkan, Jurus WHO Tekan Kasus Global

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau