Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Muhamad Rosyid Jazuli
Peneliti

Peneliti di Paramadina Public Policy Institute, mahasiswa doktoral University College London, dan Pengurus PCI Nahdlatul Ulama UK.

Mengantisipasi Dinamika Transisi Energi Era Prabowo

Kompas.com - 21/05/2024, 10:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

AGENDA ekonomi rendah karbon, khususnya melakukan percepatan transisi energi menjadi salah satu komitmen penting dari Presiden terpilih Indonesia 2024-2029 Prabowo Subianto.

Berbagai dinamika tentu menyertai agenda ini, yang pastinya perlu diantisipasi dengan hati-hati.

Setidaknya, agenda ekonomi hijau Indonesia dapat ditelusuri dari 1998. Indonesia secara politik ‘diwajibkan’ oleh IMF untuk mengurangi subsidi bahan bakar fosil-nya, khususnya untuk BBM, yang boros nan mubazir. Langkah ini kurang berhasil dan berujung instabilitas politik.

Berbagai rezim pemerintahan kemudian berupaya melanjutkan kebijakan ini. Ada suksesnya, tapi banyak juga gagalnya. Sebabnya: demonstrasi mahasiswa dan buruh serta perlawanan dari partai-partai politik di DPR.

Jika dirunut, beberapa partai pendukung Prabowo pada pemilu 2024 lalu, Gerindra dan Demokrat, misalnya, adalah penentang keras dari kebijakan pengurangan subsidi BBM.

Beberapa narasi yang digadang: reformasi subsidi BBM menyesatkan dan menyengsarakan rakyat.

Sementara, banyak ahli jelas menegaskan bahwa kesuksesan pengurangan subsidi BBM akan mendukung kesuksesan ekonomi rendah karbon, khususnya transisi energi.

Sebaliknya, jika transisi energi tak jadi agenda, maka pembangunan ekonomi dan kemakmuran yang berkelanjutan sulit tercapai.

Sementara itu, agenda transisi energi jelas telah menjadi komitmen pemerintahan Presiden Joko Widodo saat ini, sekaligus Presiden terpilih Prabowo.

Dalam Enhanced NDC-nya (2022), Indonesia berkomitmen untuk mengurangi emisi sekitar 32 persen tanpa syarat atau 43 persen dengan syarat pada 2030.

Selain itu, lewat perjanjian politik Just Energy Transition Partnership (JETP), Indonesia berencana mengakhiri penggunaan energi listrik berbasis batu bara dan mencapai puncak nol emisi karbon pada 2050.

Berbagai tantangan

Komitmen ‘hijau’ di atas mengindikasikan bahwa proses transisi energi akan berjalan lebih dari satu atau dua dekade, yang berpotensi menghadapi beberapa tantangan berikut.

Dari sisi politik, ini jelas menuntut komitmen dan konsensus politik serius dan jangka panjang. Sayangnya, rekam dinamika sikap politik para parpol di atas mensinyalkan bahwa transisi energi di Indonesia akan cukup menantang.

Kompromi politik di dalam pemerintah kemungkinan akan berjalan alot. Sebab, parpol-parpol pemerintah, seperti Gerindra dan Demokrat, yang awalnya antireformasi subsidi energi harus mengubah arah sikap politiknya, sambil tetap menjaga dukungan politik dari masyarakat.

Pada ahli sepakat bahwa proses tersebut tak mudah. Dari sisi ekonomi, batu bara masih dianggap sebagai komoditas ekspor primadona. Ini tercermin, misalnya, dalam Nota Keuangan 2022.

Halaman:

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com