Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Thorium, Tantangan dan Harapan Energi Masa Depan dari Tanjung Berikat

Kompas.com - 31/08/2023, 17:00 WIB
Heru Dahnur ,
Hilda B Alexander

Tim Redaksi

BANGKA, KOMPAS.com - Dusun Tanjung Berikat di Desa Batu Beriga, Bangka Tengah, Kepulauan Bangka Belitung merupakan potret sebuah daerah nelayan.

Dihuni oleh sebanyak 90 kepala keluarga (KK) yang hampir 99 persen bekerja sebagai nelayan.

"Kami adalah masyarakat nelayan. Pekerjaan utama mencari ikan dan cumi," kata Kepala Dusun Tanjung Berikat, Yudi Kurniawan kepada Kompas.com, Kamis (31/8/2023).

Yudi mengungkapkan, wilayah tangkapan nelayan membentang di sekitar perairan Pulau Gelasa (Kelasa). Sebuah pulau yang disebut-sebut bakal menjadi lokasi Pembangkit Listrik Tenaga Thorium (PLTT).

Selain sebagai wilayah tangkapan ikan dan cumi, nelayan biasanya menggunakan Pulau Gelasa sebagai tempat istirahat dan berteduh di kala badai.

Baca juga: Bakal Jadi Percontohan se-Asia, Pembangkit Nuklir Thorium Rp 12 Triliun Dibangun di Babel

Waktu tempuh Pulau Gelasa dari Tanjung Berikat maksimal dua jam perjalanan menggunakan perahu mesin tempel.

Kabar akan adanya PLTT sudah sampai juga ke telinga masyarakat setempat. Namun, belum banyak yang menerima informasi secara utuh.

Menurut Yudi, sosialisasi pernah dilakukan sekali di Desa Batu Beriga. Ketika itu tidak banyak warga Dusun Tanjung Berikat yang hadir.

Mereka kebanyakan sedang pergi melaut. Sebagai daerah yang berhadapan langsung dengan lokasi pembangkit, Yudi berharap sosialisasi dilakukan langsung pada masyarakat Dusun Tanjung Berikat.

"Kalau memang bagus tentu masyarakat mendukung, tapi saat ini masyarakat khawatir akan dampaknya," ujar Yudi.

Kekhawatiran masyarakat, kata Yudi, berkaitan dengan mata pencarian utama mereka sebagai nelayan. Berbagai jenis ikan, khususnya cumi yang menjadi andalan masyarakat Tanjung Berikat banyak terdapat di Pulau Gelasa dan pulau-pulau sekitarnya.

Baca juga: Sampah Warga 170 Ton Per Hari, TPA Regional Bangka Tak Kunjung Terealisasi

"Bicara soal Thorium antara tantangan dan harapan. Kami pun perlu sosialisasi menyeluruh soal lokasi sebenarnya di mana dan antisipasi lingkungan seperti apa," ujar Yudi.

Dikutip dari Direktorat Pulau-pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Pulau Gelasa adalah pulau yang tidak berpenghuni seluas 220,83 hektar.

Pulau ini secara administratif masuk wilayah Desa Beriga, berada di jalur Selat Karimata, antara Pulau Bangka dan Belitung.

Topografi pulau berbukit terjal dan ditumbuhi hutan lebat yang dihuni berbagai satwa seperti burung putih, monyet dan biawak.

Laut yang mengelilingi Pulau Gelasa juga ditumbuhi berbagai terumbu karang sehingga pulau ini dilindungi sebagai aset konservasi dalam Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau Kecil Pemkab Bangka Tengah tahun 2014.

Baca juga: Pemerintah Kebut Tiga Wilayah Penambangan Rakyat di Bangka Belitung

Rencana pembangunan PLTT mengemuka setelah PT Thorcon Indonesia menyatakan komitmennya untuk berinvestasi.

Beberapa kali pertemuan sudah dilakukan dengan pemerintah daerah. Termasuk juga penelitian ekologi dan survei melibatkan perguruan tinggi.

Hasil kajian ekologi memberikan sinyalemen positif terkait rencana PLTT di Kepulauan Bangka Belitung. Jika kelak terbangun, maka PLTT di Bangka Belitung ini akan menjadi yang pertama di Indonesia.

Bahkan, PLTT ini akan menjadi percontohan Nasional sekaligus Asia.

Kajian ekologi

Direktur Operasi PT Thorcon Power Indonesia Bob S Effendi pun optimistis setelah melihat hasil laporan kajian ekologi tersebut.

"Selanjutnya, Thorcon menunggu analisis mengenai dampak lingkungan (amdal), dan perubahan tata ruang," kata Bob seusai rapat bersama Pemprov Bangka Belitung di Pangkalpinang, Rabu (29/3/2023).

Ada pun kajian ekologi menyoal soal luasan lahan PLTT yang diperkirakan 15 sampai 20 hektar. Kemudian potensi gelombang laut pada musim barat yang bisa mencapai 3,7 meter, karena Pulau Kelasa berada di perairan terbuka.

Selain itu dikaji potensi tsunami dari patahan Samudera Hindia dan erupsi Anak Krakatau. Potensi terjangan tsunami dinilai kecil karena lokasi pembangkit terlindung pada sisi utara pulau.

Bob mengeklaim, penggunaan energi Thorium tidak membahayakan seperti yang ditakutkan masyarakat. Bahkan, energi tersebut cenderung ramah lingkungan dan sejalan dengan program pemerintah dalam pengadaan energi baru dan terbarukan (EBT) untuk menggantikan batu bara.

Baca juga: Ini Pentingnya Mineral Kritis bagi Transisi Energi Semua Negara

"Kalau kita bicara nuklir di Indonesia, sebenarnya sudah lama, sejak zaman Soekarno sudah ada. Beliau telah mengarah ke situ, tapi kemudian terjadi pergantian dan kita memilih batu bara. Sekarang batu bara dianggap tidak ramah lingkungan sehingga ini kita tawarkan," ujar Bob.

Pada tahap awal, PLTT akan dibangun bekerja sama dengan Korea Selatan. Selanjutnya reaktor akan dibawa ke Pulau Gelasa. Reaktor akan ditanam di dasar laut di sekitar pulau tersebut.

"Kalau kita olah dari awal, ini akan butuh waktu lebih lama. Jadi tahap awal ini dengan Korea Selatan, baru setelah itu kita bertahap pengolahan sendiri dari monasit yang dimiliki," ungkap Bob.

Bob mengaku anggaran yang sudah disiapkan mencapai Rp 17 triliun. Sebanyak Rp 50 miliar sudah dihabiskan untuk berbagai keperluan, mulai dari penelitian, pembuatan prototipe, penyusunan buku hingga mobilisasi rapat dengan pemerintahan.

Bob mengungkapkan, konsep PLTT berbeda dengan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) yang dikenal selama ini. Perbedaan utama yakni PLTN konvensional menggunakan bahan bakar padat, sedangkan PLTT berbahan bakar cair.

Sementara untuk pendinginan, PLTN konvensional menggunakan air. Sementara PLTT pendinginnya berupa garam. 

Baca juga: Pembiayaan Campuran Jadi Upaya Kejar Transisi Energi

Karena menggunakan media air, maka PLTN konvensional bertekanan tinggi hampir 150 Bar atau sama tekanannya saat turun setengah kilometer di bawah permukan laut.

Sementara PLTT karena garam dan titik di garam tinggi, maka bisa beroperasi di temperatur lebih tinggi sehingga menyebabkan tidak ada tekanan.

Alhasil tekanan di dalam reaktor PLTT itu hanya 10 Bar, hampir sama dengan tekanan air keran di rumah.

"Karena sifatnya sudah cair, tidak bertekanan maka istilahnya kejadian di Fukushima dan Chernobyl bisa dijamin tidak mungkin terjadi," ujar Bob.

PLTT diperkirakan baru terealisasi pada 2031-2032 atau dibutuhkan waktu sekitar 9 tahun dari sekarang.

Pengembang harus melewati serangkaian tahapan, seperti pembangunan laboratorium bahan bakar, studi lingkungan hingga perubahan tata ruang daerah.

PT Thorcon, kata Bob, bekerja sama dengan Intitut Teknologi Bandung (ITB) untuk membangun laboratorium bahan bakar. Namun tahap ini masih dalam uji coba dan belum akan digunakan untuk pembangkit.

"Operasional pertamanya kita datangkan dari Korea Selatan, dibuat di kapal lalu ditarik ke sini. Nanti dibenamkan di laut. Sejalan dengan itu kita terus kembangkan laboratorium dengan ITB dengan monasit yang kita miliki," beber Bob.

Turunkan tarif listrik

Regulasi terbaru yang memberikan indikasi arah maju (green light) untuk pembangunan PLTN yakni Kepmen 39K/20/MEM/2019 (RUPTL 2019-2028 (persiapan pembangunan PLTN) dan Perpres Nomor 18 tahun 2020-RPJMN 2020-2024 (Pembangunan PLTN paska 2024, periode 2020-2024 dimulai dengan beberapa kajian).

Baca juga: Pembangkit Listrik Virtual dan Perannya dalam Transisi Energi

Dari segi ekonomi, dengan adanya PLTT di Bangka Belitung juga akan berpotensi menurunkan tarif listrik, dan ini membawa dampak positif bagi industri elektronik berbasis IT.

"Dengan tarif listrik terjangkau, mendorong pertumbuhan ekonomi dan industri bahkan akan menjadi pusat dunia teknologi nuklir generasi terkini," ungkap Bob.

ThorCon ingin berinvestasi mengembangkan dan membangun PLT Thorium 500 MW tanpa APBN. Nantinya akan menjual listrik kepada PLN dengan kisaran harga yang kompetitif dari batu bara.

Bangka Belitung sendiri merupakan satu dari tiga lokasi yang menjadi pilihan untuk pembangunan PLTT. Selain itu ada Riau dan Pontianak yang bisa menjadi lokasi alternatif.

Bangka Belitung sendiri dipilih sebagai prioritas karena memiliki mineral ikutan timah berupa monasit yang jika diekstrak lagi akan menghasilkan thorium sebagai bahan bakar utama PLTT.

Plt Kepala Badan Pengawas Tenaga Nuklir (Bapeten) Sugeng Sumbarjo mengungkapkan, pembangunan PLTT merupakan perencanaan jangka panjang, sehingga memerlukan proses yang cukup lama dengan melalui berbagai tahapan.

Baca juga: Nasib Daerah Penghasil Batu Bara di Era Transisi Energi

Namun, hadirnya PLTT akan memberikan dampak yang besar, khususnya manfaat bagi masyarakat maupun daerah.

Sugeng menyebut, salah satu peran Bapeten yakni memastikan tingkat keamanan, serta manfaat bagi masyarakat dalam proses pembangunan PLTT nantinya.

Ia juga meyakini, berdirinya PLTT tidak akan mengganggu aktivitas nelayan, yang menjadi profesi mayoritas warga Batu Beriga. Karena menurutnya, dampak negatif dari berdirinya PLTT tersebut sangat minim.

Menurut Sugeng, aktivitas nelayan tidak akan terganggu karena pembangunan PLTT hanya mengambil beberapa ratus meter dari bibir pantai.

Berkenaan dengan limbah yang berpotensi sebagai bahan radioaktif, tergantung asal bahan bakar yang didatangkan.

"Jika dari luar, limbah akan dikembalikan ke negara asal. Jika dari Indonesia, pemerintah pusat akan melakukan penyimpanan limbah lestari," katanya.

Sugeng mengatakan, manfaat lain dari berdirinya PLTT yakni sumbangsih terhadap penurunan emisi karbon. Hal ini sejalan dengan program pemerintah pusat yang menginginkan zero emission 2060.

PLTT dinilai menjadi salah satu solusi paling potensial pengganti PLT Batubara. Karena, tenaga thorium dianggap menjadi sumber energi listrik termurah oleh para ahli energi selain tenaga matahari, tenaga angin, dan lainnya.

Baca juga: Kolaborasi Indonesia-Korsel dalam Transisi Energi

Sebaliknya, PLTT tidak menyumbangkan karbon. Bentuknya di dalam atom, hingga mengeluarkan energi, simpel seperti itu sebenarnya. Sama sekali tidak ada pembakaran.

"Hanya, karena ini luar biasa harus dikendalikan. Ini justru dalam rangka memenuhi green energy, dan green lingkungan. Secara nasional kita bisa mengurangi emisi karbon," papar Sugeng.

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), dan sebagai koordinator yaitu Direktorat Jenderal Energi Baru, Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) saat ini secara intensif melakukan pembahasan dan penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan.

RUU ini merupakan inisiatif DPR dan masuk dalam prioritas Program Legislasi Nasional 2022. Regulasi ini diharapkan menjadi regulasi yang komprehensif untuk menciptakan iklim pengembangan energi baru terbarukan (EBT) yang berkelanjutan dan adil sehingga manfaatnya bisa dirasakan oleh semua kalangan masyarakat.

Sebelumnya, Pemerintah telah meluncurkan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan EBT Untuk Penyediaan Tenaga Listrik sebagai salah satu upaya menarik lebih banyak investasi dalam pengembangan energi terbarukan.

Baca juga: Koalisi Transisi Bersih Sebut Industri Sawit Rentan Jadi Ruang Korupsi

Tidak hanya mengatur pemanfaatan energi terbarukan dari segi harga dan mekanisme pengadaan, tetapi juga transisi energi di sektor ketenagalistrikan yang meliputi peta jalan percepatan penghentian PLTU dan pembatasan pembangunan pembangkit baru.

"RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan disusun sebagai kebutuhan mendesak dimana diperlukan kerangka regulasi yang komprehensif yang dapat menjaga ekosistem investasi EBT yang kondusif, adil, dan berkelanjutan, sehingga EBT dapat bermanfaat bagi seluruh masyarakat,” kata Direktur Jenderal EBTKE, Dadan Kusdiana dikutip dari laman situs ebtke.esdm.go.id.

Dengan adanya regulasi dalam bentuk Undang-Undang ini, lanjut Dadan, diharapkan ada kepastian hukum, penguatan kelembagaan dan tata kelola, penciptaan iklim investasi yang kondusif, serta sumber EBT untuk pembangunan industri dan ekonomi nasional.

Substansi Pokok Pendalaman Daftar Inventarisasi Masalah/DIM RUU ini meliputi transisi energi dan peta jalan, sumber EBT, nuklir, perizinan berusaha, penelitian dan pengembangan, harga EBT, dukungan pemerintah, dana EBT, Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), pembagian kewenangan, pembinaan dan pengawasan, serta partisipasi masyarakat.

Baca juga: Interkonektivitas Infrastuktur Jadi Kunci Ketahanan Energi ASEAN

Lebih rinci Dadan menjelaskan aspek strategis pengaturan, fokus Pemerintah pada RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan ini.

Antara lain, ekonomi hijau dan transisi energi dapat dilakukan melalui pengembangan EBT dan konservasi energi, pengembangan sumber energi dengan emisi rendah karbon, pengelolaan energi nuklir secara terpadu dan pembangunan PLTN yang menerapkan proven technology.

Mineral ikutan timah

Analis Dinas Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bangka Belitung Ardienaka mengatakan, sebagai daerah penambangan timah yang telah berlangsung selama ratusan tahun, Bangka Belitung memiliki cadangan logam tanah jarang atau rare earth elements (RRE) yang melimpah.

"Kalau kita lihat tabel periodik yang sifatnya radioaktif itu Bangka Belitung punya semua," ujar Eka.

Menurut Eka, produk turunan REE akan menjadi sumber energi masa depan dunia, tidak hanya berupa thorium. Material yang berasal dari REE juga digunakan untuk perangkat elektronik, medis hingga kendaraan listrik.

Baca juga: Pembiayaan Campuran Jadi Upaya Kejar Transisi Energi

Dari buku Potensi Logam Tanah Jarang di Indonesia yang diterbitkan Badan Geologi Kementerian ESDM 2019, LTJ merupakan salah satu dari mineral strategis dan termasuk "critical mineral" yang merupakan kumpulan dari 17 unsur kimia.

Unsur kimia tersebut antara lain scandium (Sc), lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), lutetium (Lu) dan yttrium (Y).

"Di satu sisi cadangan batu bara di Indonesia masih sangat besar. Bukit Asam saja bisa sampai 150 tahun, tentunya ini bagian pertimbangan dalam transisi energi nantinya," pungkas Eka.

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com