KOMPAS.com – Konservasi hutan dapat berkontribusi besar untuk dalam melawan krisis iklim selama emisi gas rumah kaca (GRK) juga dipangkas.
Dengan menjaga hutan tumbuh menjadi ekosistem tua dan memulihkan kawasan yang terdegradasi, 226 miliar metrik ton karbon dapat diserap dan mencegahnya lepas ke atmosfer.
Temuan tersebut muncul dari penelitian terbaru berjudul “Integrated global assessment of the natural forest carbon potential” yang diterbitkan di Jurnal Nature pada Senin (13/11/2023) pekan lalu.
Baca juga: 2 Kunci Melawan Perubahan Iklim: Restorasi Hutan dan Pangkas Emisi
Jumlah karbon yang diserap tersebut setara dengan emisi yang dikeluarkan Amerika Serikat (AS) selama hampir 50 tahun, sebagaimana dilansir The Guardian.
Akan tetapi, jika penanaman pohon di hutan dilakukan dengan monokultur secara massal, potensinya untuk menyerap karbon tidak akan maksimal.
Di satu sisi, manusia terus menebangi sekitar separuh hutan di Bumi dan terus melakukan penghancuran di beberapa lokasi seperti hutan hujan Amazon dan lembah Kongo yang berperan penting dalam mengatur atmosfer bumi.
Para ilmuwan dalam penelitian tersebut memperkirakan, sekitar 61 persen dari potensi penyerapan karbon tersebut dapat diwujudkan dengan melindungi hutan yang ada.
Baca juga: Serapan Emisi GRK Ditarget Seimbang 2030, Sektor Hutan Butuh Investasi Rp 219,66 Triliun
Sehingga, hutan-hutan yang ada dapat tumbuh menjadi ekosistem tua seperti Hutan Bialowieza di Polandia dan Belarus atau Hutan Sequoia di California, AS yang bertahan selama ribuan tahun.
Sisanya, sebesar 39 persen dapat dicapai dengan merestorasi hutan yang terfragmentasi dan kawasan yang telah ditebangi.
Di tengah kekhawatiran greenwashing seputar peran alam dalam mitigasi krisis iklim, para peneliti menggarisbawahi pentingnya keanekaragaman hayati membantu hutan mencapai potensi penyerapan karbonnya.
Para peneliti juga memperingatkan bahwa menanam satu spesies tanam dalam jumlah besar tidak akan banyak berpengaruh dalam menyerap karbon.
Di satu sisi, diperlukan juga pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) global dari pembakaran bahan bakar fosil secara cepat.
Baca juga: Pengusaha Hutan Sebut Perdagangan Karbon Indonesia Hadapi Tantangan
Di sisi lain, selain jumlahnya terus menyusut karena dieksploitasi, banyak hutan mengalami kebakaran yang parah.
Meningkatnya jumlah kebakaran hutan dan suhu yang lebih tinggi akibat krisis iklim kemungkinan besar akan mengurangi potensi penyerapan karbon dari hutan.
“Sebagian besar hutan di dunia mengalami degradasi parah. Faktanya, banyak orang belum pernah mengunjungi salah satu dari sedikit hutan tua yang tersisa di Bumi,” kata Lidong Mo, salah satu penulis utama studi tersebut.
“Untuk memulihkan keanekaragaman hayati global, mengakhiri deforestasi harus menjadi prioritas utama,” sambungnya.
Dalam KTT Iklim PBB COP26 pada 2021, para pemimpin dunia berjanji untuk menghentikan dan membalikkan deforestasi pada akhir dekade ini. Akan tetapi, berbagai data menunjukkan bahwa banyak negara saat ini sudah keluar jalur.
Baca juga: 358.719 Hektar Kawasan Hutan Baru Disertifikatkan Lewat Redistribusi Tanah
Para peneliti mengatakan, menjaga hutan serta memenuhi perjanjian iklim dan keanekaragaman hayati sangat penting agar hutan bisa mencapai potensi maksimalnya.
“Melestarikan hutan, mengakhiri deforestasi, dan memberdayakan masyarakat yang hidup berdampingan dengan hutan memiliki kekuatan untuk menangkap 61 persen potensi kita. Itu sangat besar,” kata Tom Crowther, kepala Crowther Lab di ETH Zurich.
“Hal ini berpotensi mengubah konteks konservasi hutan. Hal ini tidak lagi berarti menghindari emisi, namun juga pengurangan karbon secara besar-besaran,” sambung Crowther.
Dia menambahkan, butuh ribuan proyek dan skema berbeda untuk melestarikan dan menghidupkan kembali hutan.
“Hal ini dapat dicapai oleh jutaan komunitas lokal, masyarakat adat, petani, dan kehutanan yang mempromosikan keanekaragaman hayati,” jelas Crowther.
Baca juga: Proyek Pelestarian Hutan di Zimbabwe Bermasalah, Kerja Sama Karbon Diputus
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya