Kendati begitu, beleid itu belum mengatur tentang pendanaan yang mengalir ke perusakan lingkungan.
Maka dari itu, organisasi lingkungan dan HAM mendesak Komisi Uni Eropa untuk memperbaiki kebijakan tersebut dengan mengajukan proposal legislasi sebelum Juni 2025.
Baca juga: Indonesia-Norwegia Sepakat Pendanaan Tahap 4 GRK Turunkan Deforestasi
Poin penting lain yang perlu diperbaiki dari kebijakan anti-deforestasi Uni Eropa ialah perlindungan hak-hak masyarakat adat dan petani swadaya.
Uni Eropa mesti memastikan proses ketertelusuran atau traceability mereka dapat diakses dan berkeadilan untuk para petani swadaya.
Adapun menyangkut masyarakat adat, kebijakan EUDR saat ini belum tegas menekan negara-negara produsen untuk menghormati hak-hak masyarakat adat.
Di Indonesia, praktik-praktik industri sawit pada masa lalu terbukti merampas lahan masyarakat adat dan menghancurkan hutan.
Praktik serupa masih mungkin berlanjut, apalagi jika melihat pemerintah Indonesia yang sangat defensif menyikapi EUDR.
Baca juga: Neutura Raup Pendanaan Angel COP28 untuk 2 Proyek Penyerap Karbon
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia Arie Rompas mengatakan, temuan laporan ini harus menjadi perhatian khusus gugus tugas EUDR yang beranggotakan Indonesia, Malaysia, dan Uni Eropa, untuk memastikan aliran dana investasi ini hanya disalurkan guna pengembangan pekebun kecil dan rantai pasok yang bebas deforestasi.
Di tengah berbagai bencana iklim yang semakin masif, perbankan Uni Eropa jangan lagi mendanai perusahaan yang terlibat perusakan lingkungan.
"Pemerintah Indonesia juga harus memperkuat komitmen iklimnya dengan memastikan tak ada lagi deforestasi, karena ini besar sekali kontribusinya memperparah krisis iklim,” tuntas Arie.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya