Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/04/2024, 12:00 WIB
Danur Lambang Pristiandaru

Penulis

KOMPAS.com - Pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara adalah teknologi yang membakar batu bara untuk menghasilkan uap guna membangkitkan listrik.

Di banyak negara, PLTU batu bara memainkan peran penting karena menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan listrik bagi warganya dan menggerakkan industrinya.

Di sisi lain, aktivitas PLTU batu bara seringkali menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan di sekitarnya.

Bahkan, PLTU batu bara disebut sebagai kontributor utama pemanasan global karena ada banyak fasilitas yang beroperasi di dunia.

Dilansir dari Global energy Monitor dan ODI, berikut empat dampak buruk PLTU terhadap lingkungan.

Baca juga: 125 Siswa SMKS 15 Taruna Bengkulu Berpotensi Terkena Dampak PLTU

1. Perubahan iklim

PLTU batu bara menghasilkan berbagai emisi gas rumah kaca (GRK) yang berkontribusi besar terhadap perubahan iklim.

Sebagai perbandingkan, PLTU batu bara dengan kapasitas 1.000 megawatt (MW) menghasilkan dampak pemanasan global setara dengan 1,2 juta mobil.

Sementara itu, PLTU batu bara dengan kapasitas 500 MW rata-rata menghasilkan emisi 3,7 juta ton karbon dioksida, setara dengan menebang 161 juta pohon.

Badan Energi Internasional atau IEA melaporkan, lebih dari seperempat karbon dioksida secara global dihasilkan dari PLTU batu bara di seluruh dunia.

Baca juga: Slovakia Setop Produki Listrik dari PLTU, Andalkan PLTN dan Energi Terbarukan

2. Polusi udara

PLTU batu bara menghasilkan berbagai gas yang berbahaya bagi lingkungan sekitar.

Berbagai gas berbahay dari akivitas PLTU batu bara adalah karbon dioksida, sulfur dioksida, dinitrogen oksida, karbon monoksida, dan lainnya.

Gas-gas tersebut selain menimbulkan bahaya bagi kesehatan juga berkontribusi terhadap pemanasan global dan perubahan iklim.

Di AS dan China, PLTU batu bara merupakan sumber polusi udara luar ruangan terbesar.

Di India, menurut data satelit, PLTU batu bara juga menjadi penyebab utama terjadinya polusi udara di negara tersebut.

Baca juga: Tahun 2024, SMI Dukung Pensiun Dini PLTU Batubara

3. Pencemaran air

Selain menghasilkan emisi gas yang berbahaya, aktivitas PLTU juga mengeluarkan berbagai zat yang mencemari air.

Zat-zat yang dihasilkan dari PLTU batu bara seperti merkuri, arsenik, timbal, dan logam berat.

Merkuri mencemari air dapat membuat ikan tidak aman untuk dimakan. Merkuri juga menyebabkan ketidakmampuan belajar, kerusakan otak, dan gangguan neurologis.

Arsenik dapat memicu kanker. Timbal dan logam berat yang terakumulasi di dalam tubuh dapat menyebabkan masalah kesehatan yang serius, termasuk keterbelakangan mental, gangguan perkembangan, dan kerusakan pada sistem saraf.

Baca juga: Emisi 20 Bandara Setara 58 PLTU Batu Bara pada 2019

4. Limbah padat

Selain mencemari udara dan air, PLTU batu bara juga menghasilkan limbah padat yang mencemari tanah.

Contoh limbah padat dari PLTU batu bara adalah fly ash dan bottom ash atau kerap disingkat sebagai FABA.

Fly ash merupakan abu terbang berupa butiran halus hasil residu pembakaran batu bara, hasil penguraian mineral silikat, sulfat, sulfida, karbonat, dan oksida.

Sedangkan bottom ash atau abu dasar adalah sisa proses pembakaran batu bara di PLTU yang mempunyai ukuran partikel lebih besar.

Komposisi kimia dari bottom ash sebagian besar tersusun dari unsur-unsur silikon, aluminium, besi, zat kapur, magnesium, sulfur, natrium, dan lain-lain.

FABA dikategorikan sebagai limbah padat berbahaya dan beracun yang dapat mempengaruhi semua makhluk seperti tanaman, hewan, dan manusia.

Baca juga: Kualitas Udara Menurun, Salah Satu Alasan Pentingnya Pensiun Dini PLTU

Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.

Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya

A member of
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com