KOMPAS.com - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyiapkan standar penghitungan pengurangan emisi dari pembangunan Hutan Tanaman Industri (HTI), yang berperan dalam mitigasi perubahan iklim.
Hal ini disampaikan oleh Kepala melalui Badan Standardisasi Instrumen LHK (BSILHK) Ary Sudijanto saat membuka talkshow bertajuk “Integrasi Pembangunan Hutan Tanaman untuk Mendukung Implementasi National Determine Contribution (NDC) melalui Program Nasional ‘Indonesia’s FOLU Net Sink 2030”, pada Festival Lingkungan, Iklim, Kehutanan, dan Energi Baru Terbarukan (LIKE) ke-2 Tahun 2024 di Jakarta, Sabtu (10/08/2024).
“Dalam perkembangannya, pembangunan HTI tidak hanya ditujukan untuk memenuhi permintaan kayu bulat untuk industri perkayuan, namun juga untuk memenuhi Long-Term Strategy for Low Carbon Scenario Compatible with Paris Agreement (LTS-LCCP) dan skenario pencapaian NDC,” ujar Ary.
Baca juga:
Ia mengatakan, target pembangunan hutan tanaman di Indonesia pada tahun 2030 adalah seluas 11,227 juta hektar.
Artinya, hal ini akan sangat mendukung pencapaian target ‘Indonesia’s FOLU Net Sink 2030’, serta pelaksanaan mandat Presiden Joko Widodo melalui Perpres 98/2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
“Oleh karena itu, integrasi pembangunan hutan tanaman ke dalam strategi mitigasi perubahan iklim menjadi peluang yang strategis untuk mendukung pencapaian target penurunan emisi,” imbuhnya.
Sebagai informasi, Hutan Tanaman Industri (HTI) adalah hutan tanaman yang dibangun dalam rangka meningkatkan potensi dan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur intensif untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri hasil hutan, dikutip dari laman Departemen Keuangan Republik Indonesia.
Menurut Ary, terkait dengan dua potensi HTI sebagai sumber emisi gas rumah maca (GRK) dan sebagai sumber serapan emisi GRK, strategi yang harus dilakukan adalah mengurangi emisi dan meningkatkan serapannya.
Baca juga:
"Dengan pendekatan UUCK bahwa Perijinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) melalui multiusaha, maka kedua potensi tadi seharusnya menjadi salah satu strategi PBPH untuk melaksanakannya, termasuk sumber revenue bagi PBPH tidak hanya kayu saja dengan luasan konsesi yang dimiliki, tetapi ada juga potensi lainnya seperti nilai ekonomi karbon," jelasnya.
Selain meningkatkan serapan, Ary menyarankan agar pihak-pihak terkait mengambil strategi untuk meningkatkan integritas dari karbon, yang akan menjadi acuan atau dasar penetapan nilai karbonnya.
“Semakin tinggi tata kelola, maka nilai karbonnya semakin tinggi, maka hutan tanaman yang sebelumnya revenue hanya dari produk kayu, maka sekarang dapat dari yang lain termasuk HHBK, ekowisata, dan karbon," terangnya.
Mari berkontribusi langsung dalam upaya mencegah dan mengatasi masalah STUNTING di Indonesia. Ikut berdonasi dengan klik Kompas.com Jernih Berbagi.Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya